Sore Bingung

12:44 AM Unknown 0 Comments

Sore Bingung.

We messed up sometimes, didn’t we?
It’s a completely normal thing, isn’t it?
We made mistakes a lot, didn’t we?
It’s a living thing, isn’t it?

Bernafas sebagai seorang manusia—sebagai seorang Sore—tidak pernah mudah. Semerbak bau kopi hitam mengganggu hidungku yang kebingungan, maksudku, semua yang ada di dalam diriku sedang kebingungan. Karena si Sore sedang kebingungan juga.
Aku Sore, nama yang aneh dan membingungkan. Tidak dalam artian yang negatif, aku suka namaku.
Asap rokok yang mengepul memaksa air mataku hadir sedikit membasahi pelupuk mataku. Sial, padahal aku sedang tidak sedih, hanya sedang bingung.
Sedaritadi, aroma kopi hitam pekat yang warnanya seperti selokan di Kali Ciliwung, dan lalu lalangnya asap rokok kretek, I suppose, alih-alih malah membuatku merasa seakan berada di pangkuan almarhum ayah tersayang.
Sore-sore duduk anteng di pangkuan sosok laki-laki yang mengajarkanku tentang dunia. Aku yang tak tahu apa-apa tentang perbincangan ayah dan rekan-rekan seperjuangannya, kawanan supir truk besar. Orang-orang sangar dan badannya bau diesel adalah orang-orang terbaik.
Mereka tidak tahu rasanya berenang dalam kolam uang, mereka tidak mengerti bagaimana cara berpakaian rapih, mereka tidak mengerti tentang gemerlapnya dunia kelas atas, tapi mereka mengerti—menguasai—lebih dari siapapun orang di kota, tentang bagaimana memberi kehangatan dan kebahagiaan kepada seorang anak kecil perempuan, seorang putri dari supir truk.
Aku rindu ayah.. Aku rindu truk besarnya.. Aku rindu memaksanya membiarkanku duduk di jok depan pura-pura mengendalikan truk.. Aku rindu semuanya.
Sayang ayah harus dipanggil Tuhan duluan dengan kematian yang tak jauh karena truk besarnya..

Halah.. Susah payah belajar keras-keras supaya bisa menerobos kabur dari dekilnya masa tumbuh kembangku, kenapa sih, tetap ada beberapa hal membingungkan yang menarikku kembali ke kisah hidup satu itu?
Biarlah nanti dikenang lagi kalau memang dibutuhkan untuk ditulis di biografiku, “SORE, Habis Gelap Terbitlah Terang.”
…Ya, tentu saja itu tidak akan menjadi judul buku biografi yang kuimpi-impikan, itu hanya terlintas sekilas di kepalaku tadi.
Ibu-ibu setengah bapak di depanku ini, si Boss, tak kelar-kelar mengecek laporan audit keuangan perusahaan bulan ini. Sudah tiga belas kali beliau membolak-balikan halaman demi halaman, kaca matanya turun di tulang hidungnya yang runcing tapi ujungnya mirip  moncong binatang babi. Si Boss jarang bicara, aku bingung kenapa orang yang jarang bicara biasanya ada di posisi jabatan paling atas perusahaan. Atau mungkin karena mereka sudah hebat makanya jadi malas banyak bicara? Mungkin dulu waktu mereka masih muda dan seksi, seperti aku, si Sore, bicaranya juga banyaaaak sekali sampai-sampai bicaranya berhasil mengantarnya menjadi pemimpin perusahaan.
Ah, tapi, si Boss ini kabar burungnya mandul. Maksudku, kabar burung yang dimaksud adalah hasil dari rangkaian rantaian fakta yang tiba-tiba tersambung sendiri. Si Boss, umurnya 53 tahun, tidak punya anak, empat kali menikah tapi selalu kandas berujung di pengadilan untuk bercerai, helaian rambutnya sudah memutih dan kasar-kasar, panjang rambutnya tidak lebih dari tengkuk, badannya kurus kerempeng tapi posturnya tinggi.. Aku cukup yakin waktu si Boss muda dulu badannya bohay.
Buktinya, empat kali menikah?
Empat kali juga bercerai?
Pasti karena para mantan suami baru tahu belakangan kalau si istri alias si Boss ternyata mandul kan?
Bingung.
Tiba-tiba mata si Boss yang tajam layaknya elang melirikku, oh, sepertinya tanpa sadar mataku daritadi mengobservasi sosoknya terlalu lama.
OK, sorry boss. Segera aku pura-pura menatap jendela ruang kantor si Boss yang besar dan jernih. Pemandangan dari lantai 23 ini tak lebih dari garis horizontal gedung-gedung pencakar langit yang tersebar di mana-mana dan langit biru penuh terlukis awan tipis.
Oh, gerimis rupanya. Padahal langit terang bukan main.
Membingungkan. Kumiringkan kepalaku sedikit ke kanan mencermati gerimis yang makin deras tapi langit yang tak kunjung gelap di luar. Aneh...
“Sore,” suaranya tak kalah parau dari decitan pagar besi berkarat, si Boss akhirnya membuka mulutnya. Akhirnya.
“Oh, iya bu? Bagaimana?”
“Kamu boleh keluar ruangan saya sekarang.”
“…tidak ada yang perlu dikomentari bu..? Atau mungkin saya ada keliru sedikit, gitu?”
“Lho, kamu sendiri belum yakin sama laporan yang kamu buat?”
“Eh.. Saya yakin bu. Tapi—“
“Ya sudah. Silakan keluar sekarang.”
“…”
“Keluar, Sore. Saya tidak mau bertanya apa-apa, kamu juga tidak mau bertanya apa-apa. Kenapa belum keluar juga? Kamu mau curhat sama saya?”
“Nggak, bu. Terima kasih. Saya permisi dulu.”

Hampir dua jam aku rela menghirup asap rokok kretek dan aroma kopi hitam pekat yang paling kubenci, berharap mendapat sedikit pujian dari si Boss atau bahkan  kritik sekalipun aku terima!
Hanya disuruh keluar, begitu saja?
Kuangkat pantatku yang pegal bukan main dari kursi depan meja si Boss.
“Sore,” beliau membuka mulutnya lagi.
Yes! Pujian kah? Sebuah kritik? Apapun?!
“..Tolong minta office boy saya mau kopi hitam pekat lagi yang masih panas. Yang ini belum sempat saya minum keburu dingin. Nih, sekalian kamu bawa gelas saya ke dapur.”
…Bener-bener.
“Iya, bu. Nanti saya bilangin.. Saya permisi..”

Jawabku sambil melangkah lunglai dengan secangkir minuman yang paling kubenci sejagat raya di tangan kananku. Ah.. Sore yang aneh.. (*)

0 comments: