Sore Bingung
Sore Bingung.
We
messed up sometimes, didn’t we?
It’s
a completely normal thing, isn’t it?
We
made mistakes a lot, didn’t we?
It’s
a living thing, isn’t it?
Bernafas sebagai seorang
manusia—sebagai seorang Sore—tidak pernah mudah. Semerbak bau kopi hitam
mengganggu hidungku yang kebingungan, maksudku, semua yang ada di dalam diriku
sedang kebingungan. Karena si Sore sedang kebingungan juga.
Aku Sore, nama yang aneh dan
membingungkan. Tidak dalam artian yang negatif, aku suka namaku.
Asap rokok yang mengepul memaksa air
mataku hadir sedikit membasahi pelupuk mataku. Sial, padahal aku sedang tidak
sedih, hanya sedang bingung.
Sedaritadi, aroma kopi hitam pekat yang
warnanya seperti selokan di Kali Ciliwung, dan lalu lalangnya asap rokok
kretek, I suppose, alih-alih malah
membuatku merasa seakan berada di pangkuan almarhum ayah tersayang.
Sore-sore duduk anteng di pangkuan sosok laki-laki yang mengajarkanku tentang
dunia. Aku yang tak tahu apa-apa tentang perbincangan ayah dan rekan-rekan
seperjuangannya, kawanan supir truk besar. Orang-orang sangar dan badannya bau
diesel adalah orang-orang terbaik.
Mereka tidak tahu rasanya berenang
dalam kolam uang, mereka tidak mengerti bagaimana cara berpakaian rapih, mereka
tidak mengerti tentang gemerlapnya dunia kelas atas, tapi mereka
mengerti—menguasai—lebih dari siapapun orang di kota, tentang bagaimana memberi
kehangatan dan kebahagiaan kepada seorang anak kecil perempuan, seorang putri
dari supir truk.
Aku rindu ayah.. Aku rindu truk
besarnya.. Aku rindu memaksanya membiarkanku duduk di jok depan pura-pura
mengendalikan truk.. Aku rindu semuanya.
Sayang ayah harus dipanggil Tuhan
duluan dengan kematian yang tak jauh karena truk besarnya..
Halah.. Susah payah belajar keras-keras
supaya bisa menerobos kabur dari dekilnya masa tumbuh kembangku, kenapa sih,
tetap ada beberapa hal membingungkan yang menarikku kembali ke kisah hidup satu
itu?
Biarlah nanti dikenang lagi kalau
memang dibutuhkan untuk ditulis di biografiku, “SORE, Habis Gelap Terbitlah
Terang.”
…Ya, tentu saja itu tidak akan menjadi
judul buku biografi yang kuimpi-impikan, itu hanya terlintas sekilas di
kepalaku tadi.
Ibu-ibu setengah bapak di depanku ini,
si Boss, tak kelar-kelar mengecek laporan audit keuangan perusahaan bulan ini.
Sudah tiga belas kali beliau membolak-balikan halaman demi halaman, kaca
matanya turun di tulang hidungnya yang runcing tapi ujungnya mirip moncong binatang babi. Si Boss jarang bicara,
aku bingung kenapa orang yang jarang bicara biasanya ada di posisi jabatan
paling atas perusahaan. Atau mungkin karena mereka sudah hebat makanya jadi
malas banyak bicara? Mungkin dulu waktu mereka masih muda dan seksi, seperti
aku, si Sore, bicaranya juga banyaaaak sekali sampai-sampai bicaranya berhasil mengantarnya
menjadi pemimpin perusahaan.
Ah, tapi, si Boss ini kabar burungnya
mandul. Maksudku, kabar burung yang dimaksud adalah hasil dari rangkaian
rantaian fakta yang tiba-tiba tersambung sendiri. Si Boss, umurnya 53 tahun,
tidak punya anak, empat kali menikah tapi selalu kandas berujung di pengadilan
untuk bercerai, helaian rambutnya sudah memutih dan kasar-kasar, panjang rambutnya
tidak lebih dari tengkuk, badannya kurus kerempeng tapi posturnya tinggi.. Aku
cukup yakin waktu si Boss muda dulu badannya bohay.
Buktinya, empat kali menikah?
Empat kali juga bercerai?
Pasti karena para mantan suami baru
tahu belakangan kalau si istri alias si Boss ternyata mandul kan?
Bingung.
Tiba-tiba mata si Boss yang tajam
layaknya elang melirikku, oh, sepertinya tanpa sadar mataku daritadi mengobservasi
sosoknya terlalu lama.
OK, sorry
boss. Segera aku pura-pura menatap jendela ruang kantor si Boss yang besar
dan jernih. Pemandangan dari lantai 23 ini tak lebih dari garis horizontal
gedung-gedung pencakar langit yang tersebar di mana-mana dan langit biru penuh
terlukis awan tipis.
Oh, gerimis rupanya. Padahal langit
terang bukan main.
Membingungkan. Kumiringkan kepalaku
sedikit ke kanan mencermati gerimis yang makin deras tapi langit yang tak
kunjung gelap di luar. Aneh...
“Sore,” suaranya tak kalah parau dari
decitan pagar besi berkarat, si Boss akhirnya membuka mulutnya. Akhirnya.
“Oh, iya bu? Bagaimana?”
“Kamu boleh keluar ruangan saya
sekarang.”
“…tidak ada yang perlu dikomentari
bu..? Atau mungkin saya ada keliru sedikit, gitu?”
“Lho, kamu sendiri belum yakin sama laporan
yang kamu buat?”
“Eh.. Saya yakin bu. Tapi—“
“Ya sudah. Silakan keluar sekarang.”
“…”
“Keluar, Sore. Saya tidak mau bertanya
apa-apa, kamu juga tidak mau bertanya apa-apa. Kenapa belum keluar juga? Kamu
mau curhat sama saya?”
“Nggak, bu. Terima kasih. Saya permisi
dulu.”
Hampir dua jam aku rela menghirup asap
rokok kretek dan aroma kopi hitam pekat yang paling kubenci, berharap mendapat
sedikit pujian dari si Boss atau bahkan kritik sekalipun aku terima!
Hanya disuruh keluar, begitu saja?
Kuangkat pantatku yang pegal bukan main
dari kursi depan meja si Boss.
“Sore,” beliau membuka mulutnya lagi.
Yes! Pujian kah? Sebuah kritik?
Apapun?!
“..Tolong minta office boy saya mau kopi hitam pekat lagi yang masih panas. Yang
ini belum sempat saya minum keburu dingin. Nih, sekalian kamu bawa gelas saya
ke dapur.”
…Bener-bener.
“Iya, bu. Nanti saya bilangin.. Saya
permisi..”
Jawabku sambil melangkah lunglai dengan
secangkir minuman yang paling kubenci sejagat raya di tangan kananku. Ah.. Sore
yang aneh.. (*)
0 comments: