[di.]

10:48 PM Unknown 0 Comments

[di.] adalah satu karya buatku yang punya tempat spesial di hatiku. 
[di.], entah kenapa, adalah satu karya yang kubanggakan.
[di.] aku tulis tiga tahun silam, sampai saat ini aku belum lagi menyelesaikan satu cerita pendek. Mungkin karena aku terlalu terkagum-kagum pada [di.]
Inspirasi [di.] datang dari.. aku lupa, mungkin dari Tuhan yang membisikan kata-katanya lewat angin sore.

Nikmati [di.]
Mungkin sebenarnya tidak secantik yang kugambarkan,
namun,
aku senang kalau ada yang baca. :)


[di.]

Pasar malam, di tengah kumuhnya Jakarta, dihimpit gedung tinggi pencakar langit berdebu.
Di depan karosel berkarat yang lampunya redup dan remang.

  Dia gelisah. Duduknya tidak nyaman, tas Tommy Hilfiger baru pemberian Om Andy ditaruh di atas pahanya yang terbuka. Berusaha untuk menutup-nutupi dan menghindari tatapan-tatapan mesum dari abang-abang sekitar.
    Mungkin sekitar tiga atau empat tahun lalu, Andini—namanya—akan dengan senang hati duduk dengan posisi seksi, kaki agak dibuka sedikit, memamerkan paha remajanya. Awalnya, menjadi seorang pemuas hasrat seksual samasekali bukan cita-citanya. Ayolah, siapapula yang pernah menuliskan cita-citanya menjadi seorang kupu-kupu malam? Andini? Teman-teman seperjuangan Andini?

***

 CI..TA.. CI..TA. Cita-cita.
   Dua patah kata sambung tersebut tertulis dengan huruf bulat-bulat besar dan rapih, tertoreh dengan serpihan putih kapur di atas papan tulis hijau kelas. Hijaunya gelap, dekil. Andini kecil memicingkan matanya, berusaha mempertajam bacaannya. Cita-cita.
    Andini tahu betul arti dari delapan huruf yang mungkin, tidak kebanyakan dari temannya tahu. Tumbuh di lingkungan pinggirannya pinggiran Jakarta membuat anak-anak seumur Andini tidak mendapat hak yang seharusnya. ‘Yang penting makan, yang penting pakai baju.’, bisa jadi prinsip yang digenggam orang tua mereka. Sekolah juga kalau tidak gratis, langitpun yakin, Andini dan bocah ingusan lainnya belum tentu kenal baca maupun tulis, pula hitung.
    Makanya, waktu Ibu Guru bicara tentang cita-cita, pesawat kertas masih melayang di udara kelas butut tanda perhatian pelajar-pelajar ciliknya belum terpusat pada papan tulis hijau di depan. Empat puluh tiga dari empat puluh empat anak di kelas yang Ibu Guru tidak hapal namanya—dan agaknya, beliau malas menghapalnya juga—melirik selirikpun enggan. Empat puluh tiga dari empat puluh empat.
Sisa satu anak, Andini, yang matanya masih tertegun ke depan. Menelaah goresan pergoresan kapur dalam kata ‘cita-cita’ di depan. Seakan ditusuk tatapan Andini dari belakang, Ibu Guru tersenyum kecil. Membenarkan kacamatanya yang turun di hidung peseknya, berharap paras Andini akan terlihat lebih jelas.
Duduklah Ibu Guru di samping bangku Andini, lalu mulutnya terbuka.. diceritakanlah Andini kecil tentang apa itu cita-cita, dan apa makna cita-cita..
Di dalam kelas sekolah gratis, sembilan atau sepuluh tahun silam, ditemani debu-debu nyata yang disinari matahari Ibu Kota, diiringi pesawat kertas malang melintang di udara kelas, Andini kecil dan Ibu Guru tenggelam dalam cerita mereka tentang cita-cita.

***

[Kembali] Pasar malam, di tengah kumuhnya Jakarta, dihimpit gedung tinggi pencakar langit berdebu.

Di depan karosel berkarat yang lampunya masih redup dan kian makin meremang.
Tertegun sendiri Andini. Tiba-tiba dadanya sesak. Ditariknya napas mendalam perlahan. Merekam sosok Ibu Gurunya yang membawa ia pada perkenalannya dengan ‘cita-cita’, Andini merasa bersalah bukan main.. masih suka teringat betapa antusias si Ibu Guru mengisahkan tentang ajaibnya cita-cita, apapun cita-citanya. Bahwa, penting jadi orang penting. Jadi orang berguna. Yang pasti bukan jadi seperti Andini, seorang.. bahasa manisnya, kupu-kupu malam. Simpanan pejabat-pejabat tinggi yang merendahkan harga diri Andini.
Memutar otaknya kembali pada kenangan-kenangan silam selalu dihindari Andini. Buatnya, itu sama saja dengan membuka luka lama yang tak kunjung kering. Berusaha mengalihkan perhatiannya akan sakit dari ruang nostalgia yang tadi ia tengok, dilihatnya sepuluh jari lentik punyanya...
Percumaaa, Tuhan.
Kepala Andini kembali memaksanya mengingat satu sosok lagi, yang satu ini pasti akan mengamuk dalam diamnya jika tahu jalan pilihan Andini. Satu sosok yang suka, suka sekali, memanggil Andini, Di.
***
Kota Tua, di Jakarta juga, Batavia nama lamanya. Bangunan-bangunan gaya Belanda bukti bekas jaman kebodohan Tanah Air yang sayangnya, indah.
Di tangga, pokoknya, suatu tangga di Batavia lama. Lalu lalang turis dengan sepeda onthel sewaan.
 “Emangnya.. Mas Abdul mau kemana?” sambil bertanya, mata Andini menatap jemarinya yang sedang digenggam Abdul.
Tidak perlu tahu siapa Abdul dan darimana dia, singkat cerita, lelaki berparas Jawa manis ini sukses menggaet hati Andini.
 “Aku mau jadi orang, Di.”
“Emangnya... sekarang Mas Abdul bukan orang?”
“Ya, aku orang, Di. Sampeyan juga orang. Mas Abdul ini.. mau jadi manusia, Di.”
“Aku kira nggak ada bedanya, mas, manusia sama orang..”
“Di, kamu ini bego apa dibego-begoin, sih... aku mau jadi orang, manusia, Di. Buatku sekarang, aku ini belum jadi orang, Di. Kerja serabutan, ilmu aku cuman bisa baca tulis, hitung juga cuman hitung sayur. Aku mau ndalami ilmu agama, Di. Kalau memang aku ndak punya lagi kesempatan untuk ndalami ilmu sekolah-sekolah, aku tau Gusti Allah pasti akan terus membuka jalan hambaNya untuk belajar, tho?”
            Andini mengangguk..
“Di.. Di juga mau, mas, jadi orang, jadi manusia..” bisik Andini pelan, tapi pasti.
“Lha, emangnya kamu bukan orang? Bukan manusia?” ledek Abdul. Bibir tipis Andini terbentuk tawa, dipukulnya gemas bahu Abdul.
      Belum sempat Andini melanjutkan maksudnya, Abdul sudah duluan membuka mulut,
“Kamu ndak usah aneh-aneh, Di.. mas senang kamu punya mimpi juga. Tapi, ya.. mas lebih senang kalau kamu belajarnya.. selayaknya perempuan aja, Di. Biar nanti aku balik-balik dari pesantren, siap jadi Ustadz, aku bisa keliling ceramah, nanti nafkah keluarga kita dari situ aja. Di, yang cuaanteek ini jaga rumah, jaga anak-anak nanti.. mau kamu, Di?”
            Andini tersipu, sedikit. Bicaranya Mas Abdul seakan yakin betul, kedua pasangan yang tengah menjalin kasih itu memang akan jadi sepasang teman hidup. Bersama Abdul, cita-cita Andini, jadi orang berguna, bukan tak mungkin terwujud. Menjadi ibu rumah tangga yang mampu membahagiakan suami dan anak-anaknya, juga orang berguna ‘kan?
 “Berapa lama Mas Abdul nyantren? Berapa lama Di harus nungguin?
“Ya.. Di, empat sampai lima tahun, deh. Tapi, sampeyan janji nungguin aku. Jangan kemana-mana. Di juga sedikit-sedikit ikut ndalami ilmu Islam, biar nanti anak-anak kita imannya kuat.”
            Mengangguk. Lagi. Andini mengangguk lagi, dengan manisnya. Lalu tertuju pada genggaman tangan mereka berdua,
“Mas Abdul, kalau mau jadi anak pesantren, nggak boleh pegangan tangan sama yang bukan muhrim, lho..”
Spontan, tangan mereka pelan terpisahkan. Keduanya kemudian menatap bulan di atas, padahal tidak jelas, kelabu tertutup awan polusi. Namun, satu bulan ini yang akan menjadi satu-satunya pelepas rindu Andini nantinya..
***
[Masih di..] Pasar malam, di tengah kumuhnya Jakarta, dihimpit gedung tinggi pencakar langit berdebu.
Di depan karosel berkarat yang lampunya tetap redup dan remangnya menguning mirip senja.
Teringat lagi Andini terhadap janji-janji yang ia ingkari. Makin jijik Andini pada dirinya sendiri. Hanya diminta menunggu lima tahun, Andini tak kuasa. Keinginan dan rasa tanggung jawabnya akan memenuhi kebutuhan dirinya sendiri membuat ia ayo aja saat sadar dirinya terjebak di lingkaran sisi gelap Jakarta.
            Hanya diminta mendalami ilmu agamanya sendiri, semangat Andini tak terang. Sama tidak terangnya seperti karosel yang daritadi ia belakangi, sembari menunggu Om Amar menjemputnya. Iming-iming sepatu baru dan uang jajan lebih berhasil menarik Andini jatuh lebih dalam ke magnet dunia malam. Ironisnya, menjadi seorang pekerja seksual tidak pernah menjadi masalah untuk kedua orang tua Andini. Kemiskinan dan kemelaratan berpuluh tahun membutakan mata orang tua Andini.

            Kemiskinan dan kemelaratan warga Jakarta sekelas Andini yang terkena getahnya tikus-tikus berdasi. Tikus-tikus berdasi yang sekarang rutin menjadi klien Andini. Ah, ironis. Rasanya, hidup Andini dan keluarganya benar-benar berada di atas tangan tikus-tikus laknat..
            Cuman Mas Abdul yang menghargai Andini sepantasnya seorang wanita dihargai. Mas Abdul.. yang kabarnya hilang ditelan gelap. Lewat lima tahun, Mas Abdul tak kunjung balik menjemput Di, tak kunjung balik, mengajak Di membangun keluarganya sendiri.
            “Belajar pesantren apa kabur..” Andini menggumam kecil sambil membenarkan tatanan rambutnya.
            “..Andiniii..” tepukan mesra di bahu Andini membangunkan bulu kuduknya. Ia menengok pelan.
            “Oooh, Om Amar! Lama banget, sihhhh, om..” Andini memanja-manjakan nada suaranya. Makin jijik, jijik lagi Andini pada dirinya sendiri.
            “Iya, maaf, ya. Abis, supir baru. Aku ketiduran sebentar, dia langsung nggak tau arah.. katanya lama di Jawa, lupa dia sama seluk beluk Jakarta..”
            Tersenyum, kemudian Andini bangun dari duduknya. Disambut rangkulan Om Amar di pinggang, Andini berjalan. Pikirnya masih melayang akan Abdul.. dan Ibu Guru. Bertanya Andini, kenapa ujuk-ujuk kenangannya terbuka lagi setelah lama digembok, di pojok ruangan batin Andini.
            “Kamu nanti marahin aja, yaa, supir baruku, Andini. Gara-gara dia, tuh, aku jadi telat..”
Om Amar ngawur sembari membukakan pintu belakang sedan BMW-nya. Gelapnya dalam mobil menyala dengan terang dari lampu otomatis. Refleks, si supir baru yang sedari tadi disalah-salahkan Om Amar menengok kebelakang,
            Andini terbelalak.

            “Mas Abdul?” (*)

11th November 2012

0 comments: