Tamu Hujan di Bulan Juni

Kamar mini ini tidak pengap, diselamatkan oleh jendela geser besar yang menggagahi satu sisi dinding menghadap balkon. Di antara semua keasingan yang saya harap tidak abadi ini, membuka lebar jendela geser dan menyambut elemen alam untuk ikut berteduh di kamar adalah wujud kenyamanan yang langka. Seperti udara sejuk yang barusan mengetuk izin bertamu, juga tampias air hujan yang tengah melepas alas kakinya untuk turut berkunjung. Dedaunan pohon sedari tadi hanya mengangguk-angguk sopan sembari meminta maaf tidak bisa ikut bertamu.  

Ada begitu banyak pertanyaan yang menolak untuk diam berlarian di kepala saya. Keramaiannya bertolak belakang dengan pemandangan yang saya jumpai di ujung mata. Dari lantai lima asrama, sejauh mata saya mampu memandang; Tokyo sedang begitu tenang dengan rintik hujannya. Minggu kedua bulan Juni datang ditemani musim hujan pendek sebelum musim panas bertugas. Seketika saya teringat karya Sapardi, Hujan Bulan Juni.

Saya penikmat kata, namun sebelum menulis ini pun saya belum sempat mengobrol dengan Hujan Bulan Juni. Namun, kali ini saya coba berbincang dengan Hujan Bulan Juni dan menelaah tiap katanya. Bahwa “tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni” yang merahasiakan rindunya kepada pohon berbunga (itu), juga tak ada yang lebih bijak (dari hujan bulan Juni) yang menghapus jejak langkahnya yang ragu di jalan (itu). Bagi saya, pemaknaan pada karya sastra adalah bagaimana pembaca menelanjangi tiap baitnya hingga terjalin relevansi yang menjembatani perasaan penulis dengannya. Kokoh atau tidaknya jembatan yang terbangun tergantung pada seberapa pembaca merasa senasib dengan penulis, atau bagaimana ia merasa tahu betul apa yang diluapkan oleh penulis pada kata-katanya.

Entahlah, tetapi saya mendapati bibir tersenyum kecut saat berkesempatan menelanjangi Hujan Bulan Juni milik Sapardi. Saya seakan bisa membaui ketidaktenangan Sapardi pada per spasi yang ia imbuhkan. Baunya familiar, yang sudah saya hirup sedari tadi pagi, ketidaktenangan yang lebih dulu bertamu sebelum udara atau air hujan. Ketabahan hujan bulan Juni yang berusaha merahasiakan perih dari pohon berbunga akrab dengan ia yang diam namun kepalanya kalang kabut dengan kekhawatiran yang bahkan tidak berwujud. Kebijakan hujan bulan Juni yang menghapus jejak kaki yang ragu kenal dekat dengan ia yang mempertanyakan ratusan kenapa dan mengapa namun tetap harus tegar mendongakkan kepalanya.

Hujan di bulan Juni versi saya adalah pengulangan episode acak yang bercerita tentang lelah yang jelas tidak datang dari kurang tidur.
Seperti ada pegal yang tengah bertandang di kedua pundak atau kerut di jidat ia yang tengah kebingungan, darimana ketidaktenangan ini datang padahal tidak diberi masuk?
Hujan di bulan Juni hari ini adalah mendapati diri tersesat atas ketidaktenangan yang tiba-tiba menggerogoti, memaksa yang digerogoti berpikir keras sembari meminta kekuatan rintik hujan bulan Juni untuk berbagi ketenangan.
Padahal sudah lama ia tidak berkunjung, dua minggu lalu sebelum hujan bulan Juni datang, sepanjang langkah yang dijejak hanya tercium bau musim panas dan keceriaan.
Hujan di bulan Juni, darimana kamu mengenal tamu yang tengah berkunjung ini?
Berbisik, Hujan Bulan Juni menjawab,

Ketidaktenangan tidak sedang bertamu.
justru tidak ada yang sedang bertamu selain sejuk dan air hujan,
ketidaktenangan bukan semata datang dengan sengaja,
Hanya, ia menempati ruang kosong yang hadir karena kekosongan Tuhan
pada tiap ragu dan rindu,
yang kemudian kekosongannya,
diduduki ketidaktenangan.

Hujan di bulan Juni, dengan ketabahan dan kebijakannya, mengantar segala bentuk rindu.
Segala; hingga rindu yang ghaib. 

dear ex-love

mid 2016
dear ex-love

there is no word in this world that is able to explain how much i miss your presence by my side

i am aware that you have mistreated me
that you do not deserve me from all the doings you wronged me

i, am aware as well that i do not want you back
as well as i am aware you do not want me back

it is just lately i am feeling lonely and
today i had a terrible headache 

i was driving on my own, bearing with this tremendous pain that i decided to turn the car and drove back home
the next thing i know is i have tears running down my face, i whispered your name with consent.

wishing you to be there and breathe the wonder, questioning will i be this lonely if you stayed?
with those tears racing down i sobbed and i was hungry for your warmth of arms, your tender kisses, and your amorous sound of throbbing heart as i lay my head on your chest.

my ex-love,

i was starving for the idea of someone’s presence that is you.
i dreamed of you as an entity that once belonged to me.
soon i realized that some dreams are nightmares in real life.
and some ideas are better left unrealized to keep my world:
sane.

written dearly,
from your dearest ex-love.

anything in between

This girl is everything in between; not her strength nor her weakness—simply anything in between.

This young lady speaks coffee but sips each drop of tea joyfully, chamomile has always been her favorite at the same time she longs for an espresso—failed to find what is her utmost.

She lets her hair down in long curls only to see her reflection wishes to have shorter hair above her neckline—she likes them both way equally in between, did not manage to choose one over another.

She persists on telling how she makes out to morning solely to fathom out how she prefers midnight’s kisses—but not too much, because she is never far from in between.

She cries her soul out loud only to word out sentences she could not scream—she is confident yet she is shyer than a daughter.

Because, she is
every,
any,
a,
thing, in between.


photo creds goes to Imel!

Bulan Satu dari Tokyo.

Di antara kehadiran segala hal yang tidak pasti di Semesta, waktu adalah salah satu di antara setitik hal yang pasti—ia terus berjalan dalam tiap kedipan mata. Waktu seakan tidak berwujud, materialnya seperti tidak bisa disentuh, seperti tidak kasat mata. Maka waktu seringkali memanjakan manusia hingga terlena, karena presensinya sekilas gaib. Padahal waktu ialah menjelma; dalam keriput di tepi bibir Ibu saat senyumnya merekah, pada genangan bekas gerimis semalam yang tidak lagi ditemukan airnya di siang bolong, kemudian meteran listrik kostan yang nominalnya pelan membengkak, juga aku yang masih terjaga pukul 1:38 di Tokyo, tiga puluh hari lalu masih di bawah langit Jakarta—adalah ulah waktu dan penjelmaannya. 

Selamat malam, Jakarta! 
Apa kabar? 

Kalimat pembuka yang terlalu cheesy, ya? Hehe. Sungguh bukan main sulitnya menggerakan jemari ini menari di atas keyboard setelah emoh menulis sedari bulan November. Iya, unggahan tulisan di blog ini tercatat terakhir November kemarin. Tuh, lagi lagi jelmaan waktu yang berlalu. Sebagai seseorang yang katanya suka menulis, mengumpulkan suasana hati alias mood entah kenapa tidak pernah mudah. Menulis untukku seperti turun ke medan perang, harus matang dengan segala persiapannya agar tidak tewas di tengah lapangan. Atau kadang menulis seperti mengadakan pertunjukan teater monolog, ada banyak kekhawatiran hingga akhirnya memutuskan untuk menarik diri. Sebelumnya, sudah tidak lagi terhitung berapa kali aku kehilangan momen untuk menulis. Sebutlah Hari Perempuan, Hari Kartini, satu bulan setelah kejadian A, B, C.. tapi aku putuskan untuk tidak membiarkan momen ini lewat: 


Tiga puluh hari menetap di Jepang. Ya Allah baru sebulan alamak. 


Untuk kawan yang juga sedang mengais ilmu di negeri orang lebih dulu daripada saya atau pernah juga 'senasib' terlempar satu tahun di negeri orang bisa jadi merasa tulisan ini terlalu drama atau "nggak segitunya, ah."


Hanyaaa, aku anggap tulisan ini seperti pembatas buku dari bunga kering. Jika suatu hari diintip lagi, ditengok, lalu tersenyum menyadari sejauh apa aku sudah melangkah!



Minggu pertama kemarin, semuanya begitu asing, kosong dan ingin pulang. Ingin rumah, ingin pulang. Semua di sini begitu galak, berujung mempertegas keraguan akan diri sendiri, dan menguak fakta bahwa aku tidak sekuat itu. Satu tahun tidaklah sebentar, meninggalkan semuanya yang padahal sedang nyaman luar biasa.

Walaupun tinggal di Jepang selalu jadi mimpi lama yang akhirnya dijalani, malam pertama 
aku merasa perlu untuk mencubit diri sendiri. Tiba-tiba terbangun dari mimpi dan disuguhkan kenyataan bahwa si bungsu yang manja ini tidak akan bertatap muka dengan abah dan bundanya selama satu tahun, tidak lagi terbangun di kamar kostan Jatinangor yang tetangga depan-kanan-kiri adalah sohib-sohib ketemu gede, dan esok siangnya tidak menemui Abigail, Atoz biru kebanggaan terparkir manis di depan gedung kost, alih-alih harus berjalan tujuh menit dan mendapati diri jadi ikan sarden di kereta Tobu Tojo, Saitama menuju Ikebukuro.


Throughout my first weeks, orang-orang di rumah sering menyerang dengan rentetan pertanyaan:


"Kok belum upload foto?"


"Manaaa, foto jalan-jalannya?"


"Gimana, sudah kemana aja?" 


Pertanyaan-pertanyaan di atas sejujurnya bikin semakin galau waktu itu. Aku harus pura-pura sudah kerasan padahal tiap malamnya aku masih kangen Jakarta Selatan, Jatinangor, dan Pamulang. Aku memang belum bisa menarik kesimpulan tentang keseluruhan pengalaman kuliah di luar negeri, statusku di sini sebagai student exchange yang menggantungkan nasibnya pada beasiswa pemerintah Jepang, jalan-jalan belum jadi rutinitas. 


Untuk orang-orang di rumah, dua minggu kemarin Sakura sudah mekar dan tampak begitu caaantik! Sayangnya aku yang lagi sepi ini agak sulit melihat warnanya yang merona. Iya, untuk orang-orang di rumah, bulan satu masih berat, luar biasa sulit untuk keluar dari segala kebiasaan yang aku tinggalkan. 

Aku penuh dengan keraguan yang berujung tanda tanya, apa iya aku sanggup menelan semua ini? Semuanya begitu besar, mewah, ramai hingga sulit untuk berjalan di tengah-tengahnya. Kemarin aku sering lupa dan hilang arah mengapa aku di sini. Kadang bahkan suka menyalahkan diri sendiri kenapa ide banget sih. Bahkan kata-kata "ingin pulang" pun sudah sempat meluncur seenak jidat. 

Namun, selama aku percaya bahwa waktu adalah menjelma, yang diwujudkan pada peralihan musim semi ke musim panas yang membuat cuaca semakin hangat, pohon Sakura belakang asrama yang sudah berwarna hijau, juga aku yang sudah berani mematikan lampu saat tidur—bulan satu dari duabelas adalah awal pendakian, and one thing for sure: giving up is not my thing.

Sebulan di sini, harus siapin jawaban kalau ditanya "gimana, sudah kerasan belum?" yang dibuntuti rentetan pertanyaan lainnya. 

Tapi yang pasti kalau ditanya, "sudah belajar apa saja di sana?"

Jawabannya mudah, "sudah belajar banyak tentang diri sendiri."

Meyakinkan diri sendiri setiap membuka mata di pagi hari bahwa hari ini adalah hari baik,

mendorong bokong agar mau bergerak dari kasur,
menyeret kaki ke basin di kamar untuk mencuci muka,
menatap mata yang sembab di kaca lalu berseru pelan,

"..hari ini harus jadi hari baik."

Untukku ini tulisan tentang bulan satu dari Tokyo,
tapi bisa diartikan berbeda untuk kamu yang lagi baca,
bisa jadi ini bulan delapan sejak ditinggal seseorang,
mungkin juga ini bulan tiga kamu dalam menanti,
atau setengah bulan sejak memutuskan berhenti merokok,

bulan keberapapun,
dari manapun,
tentang apapun,

selamat mengenal dirimu lebih dalam lagi.

***
untuk Luthfi dan Tamara.

"not the brightest, nor the strongest, but we stand among the bravest warriors."


untuk Imel, Nia, Boni, Marbel, Karin, Abe.

untuk Dhila, Saskia, Dinda, Icha.

untuk Usha, Dinera, Chasa, Aras, Nadia, Vidia, Inah, Dhea, Acha, Dirbel, Delmar, dan untuk kalian yang namanya tidak perlu disebut. Terima kasih dan aku janjikan satu juta ceritaaa saat pulang nanti!

Oh! Untuk Lakeysha dan Kak Xisi yang datangnya seperti Ibu Peri pengkolan Harajuku.








Tentang #AksiDamai dan Aku yang Masih Belajar

Ini hanya short thought kemarin malam.
Kalau ada kawan yang kurang setuju, let's agree to disagree.
:)

Alright, 
as a communication student (biar gaya akh elah dikit), aku sudah belajar cukup banyak untuk memahami apa dan bagaimana serta tujuan media portrays something to shape society’s perspective towards somethingThe agenda of it is set, sebuah berita dikemas dengan sedemikian rupa agar dapat membentuk persamaan perspektif masyarakat kebanyakan kepada suatu hal yang diharapkan pihak pihak yang berkepentingan. Walaupun, ya katanya, independensi media massa tetap jadi nomor satu di atas kepentingan mana pun.

Sudah hampir seminggu berlalu, ratusan ribu Muslim berkumpul di DKI Jakarta untuk menyuarakan sakit hati mereka yang katanya, kitab mereka, agama mereka, dinistakan. Sang Langit diinjak injak, katanya. Kali ini aku tidak akan bahas tentang bagaimana menurutku kata kata Bapak Ahok sebenarnya tidak menjurus pada penistaan agama manapun, atau bagaimana suatu misinterpretasi atau pemaknaan kata dapat menggerakan massa dalam jumlah yang jelas tidak sedikit turun ke jalan memperjuangkan harga agama mereka.

Awalnya, aku yang masih banyak belajar ini segera memandang sebelah mata saudara saudara Muslim yang berjihad dengan melakukan demonstrasi. Bahkan, beberapa ustadz ternama tampil di televisi atau melalui platform media sosial sambil menitikkan air mata karena sedih merasa kitab sucinya dihina seenak jidat. 
‘Lebay’, kataku. 
‘Fanatik’, ucapku.
‘Kok bodoh nggak kira kira’, ujarku.
Namun, aku yang lagi lagi masih perlu banyak belajar ini berusaha menengok sana sini, mencari informasi, dan mencoba memakai sepatu mereka, saudara Muslim yang tersinggung.

Memang, sudah bukan rahasia umum bahwa ini sebenarnya hanyalah settingan politik pihak yang sedang kocar kacir, yang tidak suka dengan kejayaan Ahok. Sudah bukan rahasia umum bahwa seluruh fenomena ini ada mastermindnya. Bagaimana caranya, Ahok digulingkan, tergulingkan, kalau perlu menggulingkan diri!

Aku bukan seseorang yang religius, aku seorang Muslimah yang auratku pun belum aku tutupi, aku hanyalah seorang Muslimah yang ibadahnya masih coreng moreng. Seharusnya aku tidak layak untuk bicara bahwa apa yang mereka lakukan sepenuhnya salah. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi kaki mereka bergerak ke Bundaran HI pada hari 4 November itu beramai ramai. Ada panggilan nurani yang mereka dengar dan mungkin tidak bisa aku pahami. Agama, bisa dikatakan sebagai identitas seseorang yang paling kuat. Maka hal yang wajar apabila kesalahpahaman ini dapat dengan mudah menggerakan ratusan ribu massa yang sakit hati.

Namun yang menjadikan aku sedih dan ikut sakit hati, di antara mereka yang terpanggil jiwanya untuk memperjuangkan nama baik agama, ada preman beratribut tipikal yang dibayar untuk menciptakan kerusuhan. Ada orang jahat berpakaian putih yang dijanjikan entah apa untuk menyulut kebencian. Di belakang para Muslim yang memiliki good purpose and good intention untuk membela habis habisan agamanya, yang jauh datang dari pulau seberang untuk menyuarakan haknya sebagai Muslim dan Warga Negara, ada mereka yang lain.

Mereka yang sedang tertawa, yang menggunakan sulut api lewat nama agama, mempermainkan kepercayaan dan panggilan nurani Muslim yang sepenuhnya rela mati untuk agama. Mereka yang sedang puas, karena rencananya berjalan dengan baik. Ada puppeteer, yang sedang memainkan tali boneka puppet, yang tidak sadar sedang dijadikan sebuah drama terskenario.

Politik, halal kah?


Re: Re: Re: Jangan Jadi Rumah—kepada Arum, Bia, dan Perempuan Petualang Lainnya.

Halo Bia dan Arum,

Sebelum memulai tulisan yang jauh kalah indah dari kata-kata yang kalian rangkai saling berbalas, aku dan dengan segala kerendahan hati udara Jatinangor boleh kan ikut bicara tentang isi surat kalian?

Shabia dan Arumdriya, perlukah aku bertutur tentang betapa aku merindukan kalian? Kalian adalah dua sosok wanita kedambaanku, tipe perempuan yang menjadi oase bagi dahagaku, tiap huruf yang tertuang dari pikiran cantik kalian selalu membuatku tercengang. Arum dan Bia, pertemuan kita selalu singkat. Oh, dan Bia, bahkan aku baru bertemu kamu sekali. Entah sihir atau susuk apa yang ada pada jiwa kalian, namun aku selalu merasa dekat dan akrab dengan dua perempuan kesayangan Jogja ini. Semoga aku tidak bertepuk sebelah tangan ya.

Kudapati kalian saling bertukar surat, Arum juga cerita kalau kalian tidak sengaja dipertemukan di salah satu pojok kota Yogyakarta. Arum, sampaikan maafku pada Bia karena gagal merencanakan ketemuan di Jakarta bulan silam kemarin (Bia, maaf ya). Aku tersenyum tiap membaca surat-surat yang kalian tulis. Tanpa mengabaikan makna lain dari tulisan kalian, yang paling menarik perhatianku adalah kalimat-kalimat yang kalian tukar membincangkan kekasih dan menjadi rumah untuk mereka.

Arumdriya dan Shabia, siapalah aku untuk bicara tentang Koentjaraningrat, Gusti Noeroel, atau obrolan-obrolan kelas tinggi yang sering kelabakan aku dibuatnya. Siapalah aku untuk ikut campur dalam percakapan kalian yang lahir dari pikiran agung dua wanita anggun (iya, kalian). Akan tetapi, bolehkah sekali ini saja aku ikut buka mulut tentang kekasih, rumah, dan patah hati?

Arum dan Bia, bukan lagi sebuah rahasia bahwa aku pernah patah hati, atau masih patah hati? Surat ini aku tulis bukan untuk mencari perhatian siapapun, murni aku rangkai karena gemas ingin ikut berkisah mengenai malam-malamku yang terjaga karena seorang laki-laki. Patah hati bukanlah dosa, patah hati adalah suatu fase manusia sebagai makhluk mortal yang menurutku harus dialami dalam proses menjadi seutuhnya. Aku pernah melewati malam-malam dingin, saat harus tidur dengan pikiran terbangun dan harus bangun dengan semangat yang tertidur.

Saat patah hati, citra diri yang selama ini susah payah kubangun runtuh seketika. Aku yang selalu mengagumi kirana mentari yang menerobos luang-luang dedaunan malah jadi mengutuk silaunya. Aku yang kerap menganggap embun yang mengabutkan jendela mobilku adalah sambutan dari alam sebelum memulai hari malah jadi menggerutu karena kerepotan terhalang jarak pandangnya. Semua begitu kacau, balau, berantakan. Betapa aku ingin sesak di dadaku hilang; semakin berat justru untuk mengambil nafas.  Bia, Arum, saat dia kubiarkan pergi aku kira dia akan kembali seperti dulu-dulu. Karena sejuta kali ia memandangku lekat-lekat, menenggelamkanku dalam kehangatan fananya, kemudian ia berbisik namun menegaskan,

Adey, kamu adalah rumah. Seberapa jauh aku pergi, melanglang buana, atau mampir kesana kemari, kamu adalah rumah. Dan aku pasti kembali, karena kamu, adalah, rumah.”

Kalimat yang ia tiupkan sejuta kali itu dulu membuatku terlena, setia duduk di ‘rumahnya’ lalu menunggu, menunggu, dan menunggu. Benar saja, ia pergi, melanglang buana, mampir kesana kemari, namun belum juga kutemui ia kembali. Dulu aku agungkan rumahku dan dia, sebuah sandang yang terletak di suatu sabana, satu-satunya tempat menanggalkan lelah dan menanggalkan ‘topeng’ yang dipakai di luar rumah. Dulu aku banggakan rumahku dan dia, sebuah rumah kayu yang dipadati aroma lavender, satu-satunya di planet Bumi untuk dia melepas penat dan wibawanya.

Konsep rumah yang ia janjikan padaku dulu membuatku terhipnotis, manis duduk di ‘rumahnya’ lalu menunggu, menunggu, dan menunggu. Benar saja, ia pergi, melanglang buana, mampir kesana kemari, namun tidak juga kutemui ia kembali. Apabila aku khawatir dan mulai ragu akan janjinya, kadang aku keluar rumah dan melakukan perjalanan kecil ke kantor pos. Aku tulis surat rindu yang penuh tanya, menanyakan kapan ia akan kembali, kenapa ia tidak kunjung kembali?

Tidak lama, biasanya kutemukan surat balasan darinya dengan kalimat yang masih sama titik komanya:

Adey, kamu adalah rumah. Seberapa jauh aku pergi, melanglang buana, atau mampir kesana kemari, kamu adalah rumah. Dan aku pasti kembali, karena kamu, adalah, rumah.”

Pula ia meyakinkanku bahwa jarak yang terbentang di antara kami justru akan menjadi pemanis hubungan kita. Dan tidak jenuhnya ia memintaku untuk tenang, untuk duduk manis menunggunya di rumah, karena ia pasti akan kembali.

Hingga rumput yang bergoyang menyampaikan suatu rahasia dalam diamku menunggu di rumah, rumput bergoyang itu menganginkan berita bahwa kekasihku pergi, melanglang buana, mampir kesana kemari kerumah yang bukan rumah kami. Tidak hanya satu kali. Bukan main aku tersentak. Segera aku berlari keluar rumah dan semakin aku tersentak.

Rumah, katanya?

Ternyata rumahku bukan rumah kayu yang hangat, melainkan kayu berjamur dan lembab bukan main. Lalu, rumahku bukan sebuah sandang yang terletak di suatu sabana, tapi sebuah kandang yang bertempat di padang rumput kering kecoklatan.

Tahukah, setelah menenangkan diri dan menarik nafas panjang aku menangis. Aku terbuai dengan konsep rumah, aku menunggu, menunggu, dan menunggu. Aku dijadikan rumah, sebuah objek. Bia atau Arum, bukan berarti aku menentang keras untuk dijadikan sebuah rumah. Justru menurutku itu tetap menjadi lambang pujian tertinggi saat seseorang nyaman dengan kita. Hanyalah, aku ingin menegaskan jenis rumah yang tidak boleh kalian tempati.

Bia, izinkan aku mengutip tulisanmu untuk Arum,

Mungkin kamu sudah menyadari, Arum, bahwa bukan lelaki kita saja yang mengembara? Kita, perempuan, juga mengembara dengan cara kita sendiri. Kita tidak seperti dia, tentu – mungkin dia akan pergi ke laut dan gunung, ke orang-orang yang tidak beruntung, seperti katamu, menyelami buku, dalam kasusku, sementara kita akan lebih banyak pergi ke padang bunga, ilalang di bawah bintang, kertas-kertas puisi, mengais hidup di antara orang-orang dibanding teori-teori (Oh ya, bukan berarti kita tidak bisa ke gunung dan demikian sebaliknya). Kita juga mengembara. Dan kita membawa rumah juga dalam diri kita.”

Ya, dari kisahku sebagai rumah waktu itu aku belajar banyak. Aku tidak lagi mau menjadi sekedar rumah. Aku tidak mau hanya menunggu kekasih untuk makan malam di rumah. Aku sudah terlalu sering dan selalu menunggu kekasih untuk makan malam di rumah. Aku bukanlah tempat untuk kembali setelah kekasih pergi, melanglang buana, mampir kesana kemari.

Aku bukan rumah.

Arum dan Bia, never settle for less. Temukanlah dan jadilah seseorang yang tidak mau dijadikan tempat singgah untuk makan malam, kalian bukan rumah. Aku tidak lagi mau menjadi rumah untuk seseorang. Sama dengan Bia dan Arum, kalian lebih dari itu. Jangan ulangi kesalahanku, jangan terlelap dalam untaian kata yang menjadikan kalian ‘rumah’. Kalian lebih dari itu, kalian adalah dan harusnya menjadi rekan lancong.

Arum, jangan bangun rumah untuk seorang petualang yang bahkan segan untuk singgah. Kamu petualang, Rum, kamu pelancong.

Dengan kaki-kaki yang sama kuatnya dengan hati kalian, jadilah pelancong. Kalau kekasihmu masih memiliki pola pikir dan menyebut kalian sebagai sekedar ‘rumah’, jangan bukakan mereka pintu. Jangan jadi tempat singgah untuk makan malam setelah kekasih kalian pergi, melanglang buana, mampir kesana kemari saat kalian dipaksa untuk duduk menunggu di rumah. Jangan lagi buka pintunya. Saat ia kembali datang mengetuk pintu rumahmupertahanan terakhirmu— aku harap kalian sedang makan malam dengan seseorang yang baru saja pergi melancong dengan kalian. Seseorang yang menjadikan kalian rekan lancong, memperlakukan kalian sebagai seorang manusia, bukan sebagai objek seperti rumah.

Seseorang yang membawa kalian saat melancong, seseorang yang kalian ajak melancong. Seperti aku, aku tidak mau duduk lebih lama lagi menunggu kekasihku pulang kerumah. Aku, kalian juga, Bia, Arum, adalah lebih dari itu. Kalian adalah lebih dari menunggu. Pergilah, melanconglah dengan ia yang mengajak kalian mengembara.

“…mungkin dia akan pergi ke laut dan gunung, ke orang-orang yang tidak beruntung, seperti katamu, menyelami buku, dalam kasusku, sementara kita akan lebih banyak pergi ke padang bunga, ilalang di bawah bintang, kertas-kertas puisi, mengais hidup di antara orang-orang dibanding teori-teori,”

Tidak harus satu tujuan, tapi paling tidak, salinglah mengecup bibir yang mendoakan keselamatan atas nama kesetiaan, sebelum anyaman tangan kalian dan kekasih terpisah di depan pintu rumah kalian;

Rumah yang dibangun bersama. Rumah yang menjadi tempat makan malam untuk berdua, setelah lelah melancong bersama. Rumah dengan dapur yang menjadi saksi kisah kalian, sepasang pelancong yang memasak makan malam bersama.

Barulah, jadilah rumah.


Click to read their beautiful writings:

Arum

Shabia


Jatah Bahagia

Bahagia itu hak seorang mafia tukang jagal orang sekalipun.
Tiap insan punya jatah-jatah bahagia yang tidak terbatas. Yang terbatas ialah prahara dan huru-haranya.
Jika ingin bahagia, jangan keluarkan sangsi atau dengki bila ada yang bahagia.
Kamu tenang-tenang saja,
kan aku sudah bilang..
Jatah bahagia itu tidak akan habis, kok.
Bisa diambil kapan saja,
tidak perlu pakai ada urusan administrasi segala.
Nah, kamu kapan mau ambil bahagiamu?

Tapi kalau sudah ada waktu,
jangan rakus-rakus ya.
Walaupun sumurnya tidak akan kering,
tapi kalau kamu egois dan serakah,
raup banyak-banyak bahagia di saat yang bersamaan..,

Emangnya kamu punya kantong belanja bahagia sebesar apa untuk dibungkus pulang?
Hati-hati kalau borongnya tidak tahu malu,
nanti bahagiamu banyak terjatuh di jalan dan jadi debu.

Jadi santai aja ya,
kalau mau bahagia.

Sambil menulis ini aku doakan juga bahagia untuk semua yang sedang di jalan mengambil jatah bahagianya.
Atau yang lagi di jalan pulang seusai tarik saldo dari rekening bahagia.

Aku jadi nggak sabar bahagia.

15 Juni 2016




yang ambil fotonya Boni.
yang difotonya aku.