a good friend asked me: how do I interpret the pink?

7:10 PM Unknown 0 Comments



0 comments:

Ngoceh Akhir Tahun, 2017: Menghitung Jatah Gagal dan Tanda Rindu dari Tuhan

7:10 PM Unknown 0 Comments

Saya lagi banyak dikunjungi sial. Beberapa minggu kebelakang ini banyak sekali rentetan kejadian yang membuat saya either berkecil hati, sedih, kesel, marah, sampai tahap ketawain-aja-deh. Selama dua tahun ini, bisa dibilang hidup saya itu adem. Bukannya nggak ada kunjungan dari si sial, tapi sekalinya dia berkunjung, saya masih dikelilingi banyak orang tersayang untuk bantuin saya menyambut datangnya sial dengan senyum senyum kecut. Besoknya saya udah lupa, karena sialnya langsung pulang saat saya kacangin karena malamnya saya ketawa terus bareng sahabat.

Dua tahun belakang ini juga saya dikaruniai blessings yang luar biasa, rasanya seperti dunia berpihak pada saya, apapun yang saya lakukan itu pasti berujung pada kemudahan, hoki, atau kesuksesan yang tidak terduga. Pokoknya, episode 'keberuntungan' saya berhasil bikin saya yakin kalau hidup saya akan sama ademnya, alias gede rasa kalau saya orangnya hoki!

Selama ini saya merasa paling mahir kalau jadi tempat cerita teman atau pacar yang lagi sedih menghadapi kegagalan atau kesialan. Saya yang punya citra optimis ini selalu dengan bijaksananya bilang bahwa kegagalan itu penting, dan saya selalu bilang ke mereka,

"Anggap aja kalau tiap manusia itu punya jatah gagal dalam hidupnya, dan setiap kegagalan yang lo hadapi artinya lo menghabiskan jatah gagal lo satu persatu."

Jadi artinya pun, yang penting itu bukan gagal atau suksesnya, tapi bagaimana pentingnya menghabiskan jatah gagal. Dan saya yakin, cara untuk menghabiskan jatah gagal ya dengan menggaet banyak kesempatan yang muncul di depan mata, gagal atau nggaknya itu urusan belakangan. Kalau berhasil, ya jelas bagus, tapi kalaupun belum berhasil, hore, satu jatah gagal tercoret lagi!

Nah, gitu. Kurang lebih selaluuu seperti itu saya yakinkan orang orang tersayang yang mengadu pada saya tentang kekecewaan, eh lalu saya jadi mikir, bagaimana dengan jatah gagal saya? Saya yang mengimani pentingnya gagal dalam perjalanan menggapai mimpi sendiri merasa kalau jatah gagal saya belum banyak yang dicoret. Tapi dengan songongnya saya sempet mikir, ya, mungkin emang saya hoki, hehe.

Tapi ya memang, hidup kalau terlalu manis itu nggak lain adalah jebakan. Saat saya baru ini menerima sebuah penolakan yang tidak terduga, saya bingung bukan main gimana cara menghadapi sesuatu yang tidak berjalan sesuai harapan saya. Asli, saya sampai google "how do I deal with failure?".. Saya bohong kalau bilang saya nggak sempet down, saya sedih dan kecewa sama diri sendiri. Kelabakan, seakan akan berputarnya dunia saya yang selama ini saya pahami, jadi berubah. Seperti mempertanyakan, lha, lho, gak harusnya gini lho ini. Persetan dengan semua teori jatah gagal yang selama ini saya koarkan, nyatanya pas saya menghadapi kegagalan itu sendiri, saya ibarat orang hilang arah.

Seingat saya yang nggak rajin-rajin amat menulis, tulisan kali ini bisa jadi adalah tulisan pertama yang bertemakan, spiritual mungkin? Nggak layak amat kalau saya bilang ini akan jadi tulisan religius karena ilmu agama saya jelas masih jauh untuk berani comot-comot ayat suci dari kitab agama yang saya anut, Al Quran. Lagipula, saya kepengen tulisan ini bisa turut dinikmati secara penuh hati oleh teman teman yang menganut Tuhan yang beda di nama atau kawan yang tidak percaya Tuhan.

Sejak saya menerima berita atasa 'kegagalan' itu, saya secara nggak sadar membiarkan banyak energi negatif masuk kedalam diri saya. Saya jadi banyak mengumpat, mencaci diri sendiri atau siapapun yang nyebelin, dan level sabar saya rasanya jadi lebih tipis daripada selembar kertas. Dan racun mulai masuk: membandingkan diri dengan orang lain. Jadi buta, lupa bersyukur, dan melupakan semua blessings yang telah dikantongi.

Haaaah, itulah manusia. Lemah. Manusia itu kurang lebih seperti air, wujudnya mengikuti wadah, mudah keruh kalau terkontaminasi kotor, lalu air bisa memberi kehidupan, atau juga bisa mendatangkan kematian. Similar pada manusia bukan, sih? Anyway, membahas persamaan manusia dengan karakter air adalah another chapter to write. Tapi kembali lagi, saya merasa seperti air yang tadinya jernih dan cucok, saya biarkan polusi masuk mengotori air, atau jiwa saya. Padahal debunya cuma setitik, tapi saya sendiri yang nggak cepat ambil tindakan menyaring air, alihalih malah membiarkan air saya jadi kotor sendiri.

0 comments: