anything in between

3:29 PM Unknown 0 Comments

This girl is everything in between; not her strength nor her weakness—simply anything in between.

This young lady speaks coffee but sips each drop of tea joyfully, chamomile has always been her favorite at the same time she longs for an espresso—failed to find what is her utmost.

She lets her hair down in long curls only to see her reflection wishes to have shorter hair above her neckline—she likes them both way equally in between, did not manage to choose one over another.

She persists on telling how she makes out to morning solely to fathom out how she prefers midnight’s kisses—but not too much, because she is never far from in between.

She cries her soul out loud only to word out sentences she could not scream—she is confident yet she is shyer than a daughter.

Because, she is
every,
any,
a,
thing, in between.


photo creds goes to Imel!

0 comments:

Bulan Satu dari Tokyo.

3:22 PM Unknown 0 Comments

Di antara kehadiran segala hal yang tidak pasti di Semesta, waktu adalah salah satu di antara setitik hal yang pasti—ia terus berjalan dalam tiap kedipan mata. Waktu seakan tidak berwujud, materialnya seperti tidak bisa disentuh, seperti tidak kasat mata. Maka waktu seringkali memanjakan manusia hingga terlena, karena presensinya sekilas gaib. Padahal waktu ialah menjelma; dalam keriput di tepi bibir Ibu saat senyumnya merekah, pada genangan bekas gerimis semalam yang tidak lagi ditemukan airnya di siang bolong, kemudian meteran listrik kostan yang nominalnya pelan membengkak, juga aku yang masih terjaga pukul 1:38 di Tokyo, tiga puluh hari lalu masih di bawah langit Jakarta—adalah ulah waktu dan penjelmaannya. 

Selamat malam, Jakarta! 
Apa kabar? 

Kalimat pembuka yang terlalu cheesy, ya? Hehe. Sungguh bukan main sulitnya menggerakan jemari ini menari di atas keyboard setelah emoh menulis sedari bulan November. Iya, unggahan tulisan di blog ini tercatat terakhir November kemarin. Tuh, lagi lagi jelmaan waktu yang berlalu. Sebagai seseorang yang katanya suka menulis, mengumpulkan suasana hati alias mood entah kenapa tidak pernah mudah. Menulis untukku seperti turun ke medan perang, harus matang dengan segala persiapannya agar tidak tewas di tengah lapangan. Atau kadang menulis seperti mengadakan pertunjukan teater monolog, ada banyak kekhawatiran hingga akhirnya memutuskan untuk menarik diri. Sebelumnya, sudah tidak lagi terhitung berapa kali aku kehilangan momen untuk menulis. Sebutlah Hari Perempuan, Hari Kartini, satu bulan setelah kejadian A, B, C.. tapi aku putuskan untuk tidak membiarkan momen ini lewat: 


Tiga puluh hari menetap di Jepang. Ya Allah baru sebulan alamak. 


Untuk kawan yang juga sedang mengais ilmu di negeri orang lebih dulu daripada saya atau pernah juga 'senasib' terlempar satu tahun di negeri orang bisa jadi merasa tulisan ini terlalu drama atau "nggak segitunya, ah."


Hanyaaa, aku anggap tulisan ini seperti pembatas buku dari bunga kering. Jika suatu hari diintip lagi, ditengok, lalu tersenyum menyadari sejauh apa aku sudah melangkah!



Minggu pertama kemarin, semuanya begitu asing, kosong dan ingin pulang. Ingin rumah, ingin pulang. Semua di sini begitu galak, berujung mempertegas keraguan akan diri sendiri, dan menguak fakta bahwa aku tidak sekuat itu. Satu tahun tidaklah sebentar, meninggalkan semuanya yang padahal sedang nyaman luar biasa.

Walaupun tinggal di Jepang selalu jadi mimpi lama yang akhirnya dijalani, malam pertama 
aku merasa perlu untuk mencubit diri sendiri. Tiba-tiba terbangun dari mimpi dan disuguhkan kenyataan bahwa si bungsu yang manja ini tidak akan bertatap muka dengan abah dan bundanya selama satu tahun, tidak lagi terbangun di kamar kostan Jatinangor yang tetangga depan-kanan-kiri adalah sohib-sohib ketemu gede, dan esok siangnya tidak menemui Abigail, Atoz biru kebanggaan terparkir manis di depan gedung kost, alih-alih harus berjalan tujuh menit dan mendapati diri jadi ikan sarden di kereta Tobu Tojo, Saitama menuju Ikebukuro.


Throughout my first weeks, orang-orang di rumah sering menyerang dengan rentetan pertanyaan:


"Kok belum upload foto?"


"Manaaa, foto jalan-jalannya?"


"Gimana, sudah kemana aja?" 


Pertanyaan-pertanyaan di atas sejujurnya bikin semakin galau waktu itu. Aku harus pura-pura sudah kerasan padahal tiap malamnya aku masih kangen Jakarta Selatan, Jatinangor, dan Pamulang. Aku memang belum bisa menarik kesimpulan tentang keseluruhan pengalaman kuliah di luar negeri, statusku di sini sebagai student exchange yang menggantungkan nasibnya pada beasiswa pemerintah Jepang, jalan-jalan belum jadi rutinitas. 


Untuk orang-orang di rumah, dua minggu kemarin Sakura sudah mekar dan tampak begitu caaantik! Sayangnya aku yang lagi sepi ini agak sulit melihat warnanya yang merona. Iya, untuk orang-orang di rumah, bulan satu masih berat, luar biasa sulit untuk keluar dari segala kebiasaan yang aku tinggalkan. 

Aku penuh dengan keraguan yang berujung tanda tanya, apa iya aku sanggup menelan semua ini? Semuanya begitu besar, mewah, ramai hingga sulit untuk berjalan di tengah-tengahnya. Kemarin aku sering lupa dan hilang arah mengapa aku di sini. Kadang bahkan suka menyalahkan diri sendiri kenapa ide banget sih. Bahkan kata-kata "ingin pulang" pun sudah sempat meluncur seenak jidat. 

Namun, selama aku percaya bahwa waktu adalah menjelma, yang diwujudkan pada peralihan musim semi ke musim panas yang membuat cuaca semakin hangat, pohon Sakura belakang asrama yang sudah berwarna hijau, juga aku yang sudah berani mematikan lampu saat tidur—bulan satu dari duabelas adalah awal pendakian, and one thing for sure: giving up is not my thing.

Sebulan di sini, harus siapin jawaban kalau ditanya "gimana, sudah kerasan belum?" yang dibuntuti rentetan pertanyaan lainnya. 

Tapi yang pasti kalau ditanya, "sudah belajar apa saja di sana?"

Jawabannya mudah, "sudah belajar banyak tentang diri sendiri."

Meyakinkan diri sendiri setiap membuka mata di pagi hari bahwa hari ini adalah hari baik,

mendorong bokong agar mau bergerak dari kasur,
menyeret kaki ke basin di kamar untuk mencuci muka,
menatap mata yang sembab di kaca lalu berseru pelan,

"..hari ini harus jadi hari baik."

Untukku ini tulisan tentang bulan satu dari Tokyo,
tapi bisa diartikan berbeda untuk kamu yang lagi baca,
bisa jadi ini bulan delapan sejak ditinggal seseorang,
mungkin juga ini bulan tiga kamu dalam menanti,
atau setengah bulan sejak memutuskan berhenti merokok,

bulan keberapapun,
dari manapun,
tentang apapun,

selamat mengenal dirimu lebih dalam lagi.

***
untuk Luthfi dan Tamara.

"not the brightest, nor the strongest, but we stand among the bravest warriors."


untuk Imel, Nia, Boni, Marbel, Karin, Abe.

untuk Dhila, Saskia, Dinda, Icha.

untuk Usha, Dinera, Chasa, Aras, Nadia, Vidia, Inah, Dhea, Acha, Dirbel, Delmar, dan untuk kalian yang namanya tidak perlu disebut. Terima kasih dan aku janjikan satu juta ceritaaa saat pulang nanti!

Oh! Untuk Lakeysha dan Kak Xisi yang datangnya seperti Ibu Peri pengkolan Harajuku.








0 comments: