The Letter to Anyone and Yourself.

11:36 PM Unknown 4 Comments


This letter goes to anyone who's been thinking that they're alone, broken-hearted, depressed, and feeling like no one's picking up the phone when you need them the most.

This letter goes to anyone who find curling up in bed drowning in sadness of nostalgia is better than actually breathing the fresh air outside the room.

This letter goes to you, who stumbled upon this writing. This isn't a coincidence, that's universe giving you a hint to wake up and move on, to let yourself go from anything that makes you miserable.

Hi there, I know you're in a really deep cut, I know you've been feeling small, I know you thought you're no longer friends with 'hope', I know you're close to giving up, I know you're about to accept that you'll bring sadness to your way of living.

I've been there, I have once thought that maybe, this sadness of mine won't ever go away and I almost let myself to accept 'sadness' in a wrong way. I thought, maybe it's better for me to live with this scar than having the must to remove it.

But then, out of the desperation notes and letters that's piling up on my desk, a thing or a two crossed my mind. Letting sadness to be within you, is not accepting. It's because you're weak, you're not brave enough to leave what made your eyes tear and your cuts bleed behind, to throw the thoughts in your head that rip you apart. Darling, you're killing your mental slowly.

You're lack of your self-worth awareness. You're too busy figuring out how to move on from anything that's been haunting you, you're too busy hiding from anything that's been chasing you, you're too busy fighting from anything that's been hassling you. Then you feel tired, you feel hopeless, that's nearly the point where you thought maybe you'll just have to accept that you'll never move on. And the only choice you have is to live with those demons in your head.

Meanwhile.. the very first thing to step out of the sadness and the insecurities is to love yourself. Don't push yourself too hard, don't need to buy a How To book. You just need to love yourself more. I know it sounds cliche, but there's a reason why people write about the importance of loving yourself all the time.

Because, it is actually the answer to every alone, broken-hearted, depressed souls' been questioning.

Here, dear You.

Date yourself. I know you've reached the point where the idea of being alone enjoying the grief is better than anything. But until when will you let yourself being overwhelmed by the past, singing to the lyrics of those so related sad songs and stop yourself from being 'you'?

Sweetheart,

say 'Hi' to yourself, when was the last time you had your own quality time with yourself? Quite a time ago, I suppose? Go, it's your reconciliation time with yourself, have a cup of chamomile tea with yourself,  talk about yourself as long, as much as you want, yourself won't get bored anyway.

Date yourself, make love to yourself, send good night texts to yourself, praise yourself, send yourself flowers, send yourself your favorite chocolate, because the only one who can treat you the way exactly you want to be treated is yourself. Be selfish, be un-selfless for a while.

You, you're young, you're bright, you're beautiful, every inch of you is perfect just the way it is.
You, you're about to walk on sunshine, and don't let anyone get in your way. Don't.

You, I know you're feeling lonely, but then, it isn't that bad to be alone. Solitude is a bless, they say. No, being alone isn't that pathetic. Because in the end, no one will be there for you, but you. Everyone's eventually busy with themselves.

And it's good knowing that you're always gonna be there for you, no one else, just you.

Once you get to know yourself, you'll slowly see the real potential in yourself. You won't be feeling that lonely anymore. Because again, it's such a bless knowing that someone will always be there for you, which is yourself.

Get to know yourself better, have a deep conversation with yourself, oh for Goodness' sake, do you even remember your favorite color? Do you even remember those little things that make you happy, like the smell of your Grandma's freshly baked cookies?

The moment you start to admire yourself, write yourself a love letter. Or love letters. Be in love with yourself, no one will be jealous. Instead, you HAVE to be in love with yourself. That matters.

And next time you're feeling lost, just remember, you can always count on someone, which you called, Yourself.

I promise you, you will always be your home, your comfort zone, your source of warmth. You don't need to find those in anyone else, because you'll always have you.

Now please, acquaint yourself. Take a look in the mirror, --whoa, look at those eyes of yours. They glow universe, stare yourself deeply, swim into it.

You'll find a pure soul, a soul that won't hurt you no matter what,

Yourself. Have a moment with yourself.

Cheers,

an encouragement from myself to I,

for you and yourself.

4 comments:

Ibu, Aku Pamit ke Jakarta

11:52 PM Unknown 0 Comments

Ibu, aku pamit ke Jakarta..
Surat ini kutulis dengan air mata yang tak berhenti mengalir deras, bu..
Pena pun tak kuasa aku pegang dengan benar tatkala jemariku bergetar tidak karuan..
Maaf ya, bu, kalau tulisannya susah dibaca.. Manapula beberapa kata luntur terkena tetes air mata..

Ibu, badanku menggigil bukan main sembari merangkai kata-kata di surat ini
Anyaman bambu dinding rumah kita mulai menipis dan bolong-bolong ya, bu..
Sedih lihatnya.. Aku tidak mengeluh, bu, tapi aku kasihan sama si Bungsu..

Si Indri, bu.
Di sampingku ia terlelap pulas,
Aih.. Cantiknya adikku yang satu ini, kulitnya kuning langsat, berkilau kalau kena sinar matahari.
Ibu, pesanku, Indri jangan sampai putus sekolah.
Suatu sore waktu Pak RT bagi-bagi mangga, aku mendengar cerita-cerita Indri tentang impiannya..

“Aku ingin jadi dokter, mbak.
Biarin aja kata orang mimpiku ketinggian, ibunya cuma buruh cuci, eh, kepengen jadi dokter.. Katanya nggak mungkin, mbak.”
Sembari mengupas mangga, Indri menuangkan keraguannya padaku, Bu..

Kemudian, aku yang bingung hanya mampu menjawab,
“Mungkin, Indri. Celotehan orang lain nggak usah didengar, yang penting kamu rajin belajar.
Kalau Indri punya kemauan, pasti ada jalan..”

Ibu, aku pamit ke Jakarta..
Izinkan aku mengadu nasib,
Restui aku mengubah nasib,
Maaf ya, bu, kalau hanya meninggalkan surat ini.. menulis di secarik kertas saja sudah terkuras air mataku tak keruan, bu..
Gimana kalau harus berpamitan sambil menatap mata Ibu yang sayu?

Ibu, aku pinjam dulu koper yang dulu Ibu gunakan untuk berangkat ke Negeri Jiran..
Koper yang ibu simpan di dekat kandang ayam yang isinya malah sarang laba-laba,
Ibu bilang benci lihat koper ini,
“Ibumu jadi ingat saat-saat diperlakukan seperti hewan. Simpen koper ini di belakang, nduk.

Puji Syukur ya, Ibu..
Ibu bisa membebaskan diri dari jeratan dan rentetan siksaan majikan Ibu..
Aku masih ingat saat menjemput Ibu di Terminal Rajekwesi dua tahun silam,
Bisa menyentuh Ibu lagi, walaupun banyak bekas luka dan lebam di seluruh tubuh Ibu waktu itu…

Ibu, aku pamit ke Jakarta..
Entah makan apa,
Entah tidur di mana,
Entah pakai baju apa..

tapi aku mohon Ibu jangan khawatir, ya..
Bilang pada Indri aku pasti kembali,
Ibu juga, harus yakin bahwa aku kembali..

Ibu, aku pamit ke Jakarta. (*)



0 comments:

Bayangan

10:58 PM Unknown 0 Comments




langsung saja kemudian aku marah,
terus saja lalu aku bertanya seribu.

kapan gelap, kapan awan ini menjauh?
kapan beling, kaca ini rapih?

kutatap nanar bayangan dia di kaca
tanpa sehelai benang atau sutra dia berdiri
belikat-belikatnya tajam menonjol,
rusuknya tipis-tipis dibungkus kulit.

kemudian wajahnya,
pucat,
hitam bulat mengantong di bawah kedua matanya,
dia lelah.

langsung saja kemudian dia menangis,
terus saja lalu dia bertanya miris.

'siapa aku?'

'siapa aku?'

diulangnya berkali-kali,
pelan.

agar angin diam berbisik desir tak terdengar.

masih kutatap nanar bayangan dia di kaca
tanpa secarik senyum atau tawa dia berdiri
belikat-belikatnya tajam menonjol,
rusuknya tipis-tipis dibungkus kulit.

'siapa dia?'

'siapa dia?'

diulangku berkali-kali,
agak keras.

kusentuh bayangan dia lewat kaca, 
jemariku mengelus bayangan dia,
datar.
tak berbentuk.

hanya bayangan dia kaca.
bayangan dia,

dia--aku.

16th September 2012

0 comments:

[di.]

10:48 PM Unknown 0 Comments

[di.] adalah satu karya buatku yang punya tempat spesial di hatiku. 
[di.], entah kenapa, adalah satu karya yang kubanggakan.
[di.] aku tulis tiga tahun silam, sampai saat ini aku belum lagi menyelesaikan satu cerita pendek. Mungkin karena aku terlalu terkagum-kagum pada [di.]
Inspirasi [di.] datang dari.. aku lupa, mungkin dari Tuhan yang membisikan kata-katanya lewat angin sore.

Nikmati [di.]
Mungkin sebenarnya tidak secantik yang kugambarkan,
namun,
aku senang kalau ada yang baca. :)


[di.]

Pasar malam, di tengah kumuhnya Jakarta, dihimpit gedung tinggi pencakar langit berdebu.
Di depan karosel berkarat yang lampunya redup dan remang.

  Dia gelisah. Duduknya tidak nyaman, tas Tommy Hilfiger baru pemberian Om Andy ditaruh di atas pahanya yang terbuka. Berusaha untuk menutup-nutupi dan menghindari tatapan-tatapan mesum dari abang-abang sekitar.
    Mungkin sekitar tiga atau empat tahun lalu, Andini—namanya—akan dengan senang hati duduk dengan posisi seksi, kaki agak dibuka sedikit, memamerkan paha remajanya. Awalnya, menjadi seorang pemuas hasrat seksual samasekali bukan cita-citanya. Ayolah, siapapula yang pernah menuliskan cita-citanya menjadi seorang kupu-kupu malam? Andini? Teman-teman seperjuangan Andini?

***

 CI..TA.. CI..TA. Cita-cita.
   Dua patah kata sambung tersebut tertulis dengan huruf bulat-bulat besar dan rapih, tertoreh dengan serpihan putih kapur di atas papan tulis hijau kelas. Hijaunya gelap, dekil. Andini kecil memicingkan matanya, berusaha mempertajam bacaannya. Cita-cita.
    Andini tahu betul arti dari delapan huruf yang mungkin, tidak kebanyakan dari temannya tahu. Tumbuh di lingkungan pinggirannya pinggiran Jakarta membuat anak-anak seumur Andini tidak mendapat hak yang seharusnya. ‘Yang penting makan, yang penting pakai baju.’, bisa jadi prinsip yang digenggam orang tua mereka. Sekolah juga kalau tidak gratis, langitpun yakin, Andini dan bocah ingusan lainnya belum tentu kenal baca maupun tulis, pula hitung.
    Makanya, waktu Ibu Guru bicara tentang cita-cita, pesawat kertas masih melayang di udara kelas butut tanda perhatian pelajar-pelajar ciliknya belum terpusat pada papan tulis hijau di depan. Empat puluh tiga dari empat puluh empat anak di kelas yang Ibu Guru tidak hapal namanya—dan agaknya, beliau malas menghapalnya juga—melirik selirikpun enggan. Empat puluh tiga dari empat puluh empat.
Sisa satu anak, Andini, yang matanya masih tertegun ke depan. Menelaah goresan pergoresan kapur dalam kata ‘cita-cita’ di depan. Seakan ditusuk tatapan Andini dari belakang, Ibu Guru tersenyum kecil. Membenarkan kacamatanya yang turun di hidung peseknya, berharap paras Andini akan terlihat lebih jelas.
Duduklah Ibu Guru di samping bangku Andini, lalu mulutnya terbuka.. diceritakanlah Andini kecil tentang apa itu cita-cita, dan apa makna cita-cita..
Di dalam kelas sekolah gratis, sembilan atau sepuluh tahun silam, ditemani debu-debu nyata yang disinari matahari Ibu Kota, diiringi pesawat kertas malang melintang di udara kelas, Andini kecil dan Ibu Guru tenggelam dalam cerita mereka tentang cita-cita.

***

[Kembali] Pasar malam, di tengah kumuhnya Jakarta, dihimpit gedung tinggi pencakar langit berdebu.

Di depan karosel berkarat yang lampunya masih redup dan kian makin meremang.
Tertegun sendiri Andini. Tiba-tiba dadanya sesak. Ditariknya napas mendalam perlahan. Merekam sosok Ibu Gurunya yang membawa ia pada perkenalannya dengan ‘cita-cita’, Andini merasa bersalah bukan main.. masih suka teringat betapa antusias si Ibu Guru mengisahkan tentang ajaibnya cita-cita, apapun cita-citanya. Bahwa, penting jadi orang penting. Jadi orang berguna. Yang pasti bukan jadi seperti Andini, seorang.. bahasa manisnya, kupu-kupu malam. Simpanan pejabat-pejabat tinggi yang merendahkan harga diri Andini.
Memutar otaknya kembali pada kenangan-kenangan silam selalu dihindari Andini. Buatnya, itu sama saja dengan membuka luka lama yang tak kunjung kering. Berusaha mengalihkan perhatiannya akan sakit dari ruang nostalgia yang tadi ia tengok, dilihatnya sepuluh jari lentik punyanya...
Percumaaa, Tuhan.
Kepala Andini kembali memaksanya mengingat satu sosok lagi, yang satu ini pasti akan mengamuk dalam diamnya jika tahu jalan pilihan Andini. Satu sosok yang suka, suka sekali, memanggil Andini, Di.
***
Kota Tua, di Jakarta juga, Batavia nama lamanya. Bangunan-bangunan gaya Belanda bukti bekas jaman kebodohan Tanah Air yang sayangnya, indah.
Di tangga, pokoknya, suatu tangga di Batavia lama. Lalu lalang turis dengan sepeda onthel sewaan.
 “Emangnya.. Mas Abdul mau kemana?” sambil bertanya, mata Andini menatap jemarinya yang sedang digenggam Abdul.
Tidak perlu tahu siapa Abdul dan darimana dia, singkat cerita, lelaki berparas Jawa manis ini sukses menggaet hati Andini.
 “Aku mau jadi orang, Di.”
“Emangnya... sekarang Mas Abdul bukan orang?”
“Ya, aku orang, Di. Sampeyan juga orang. Mas Abdul ini.. mau jadi manusia, Di.”
“Aku kira nggak ada bedanya, mas, manusia sama orang..”
“Di, kamu ini bego apa dibego-begoin, sih... aku mau jadi orang, manusia, Di. Buatku sekarang, aku ini belum jadi orang, Di. Kerja serabutan, ilmu aku cuman bisa baca tulis, hitung juga cuman hitung sayur. Aku mau ndalami ilmu agama, Di. Kalau memang aku ndak punya lagi kesempatan untuk ndalami ilmu sekolah-sekolah, aku tau Gusti Allah pasti akan terus membuka jalan hambaNya untuk belajar, tho?”
            Andini mengangguk..
“Di.. Di juga mau, mas, jadi orang, jadi manusia..” bisik Andini pelan, tapi pasti.
“Lha, emangnya kamu bukan orang? Bukan manusia?” ledek Abdul. Bibir tipis Andini terbentuk tawa, dipukulnya gemas bahu Abdul.
      Belum sempat Andini melanjutkan maksudnya, Abdul sudah duluan membuka mulut,
“Kamu ndak usah aneh-aneh, Di.. mas senang kamu punya mimpi juga. Tapi, ya.. mas lebih senang kalau kamu belajarnya.. selayaknya perempuan aja, Di. Biar nanti aku balik-balik dari pesantren, siap jadi Ustadz, aku bisa keliling ceramah, nanti nafkah keluarga kita dari situ aja. Di, yang cuaanteek ini jaga rumah, jaga anak-anak nanti.. mau kamu, Di?”
            Andini tersipu, sedikit. Bicaranya Mas Abdul seakan yakin betul, kedua pasangan yang tengah menjalin kasih itu memang akan jadi sepasang teman hidup. Bersama Abdul, cita-cita Andini, jadi orang berguna, bukan tak mungkin terwujud. Menjadi ibu rumah tangga yang mampu membahagiakan suami dan anak-anaknya, juga orang berguna ‘kan?
 “Berapa lama Mas Abdul nyantren? Berapa lama Di harus nungguin?
“Ya.. Di, empat sampai lima tahun, deh. Tapi, sampeyan janji nungguin aku. Jangan kemana-mana. Di juga sedikit-sedikit ikut ndalami ilmu Islam, biar nanti anak-anak kita imannya kuat.”
            Mengangguk. Lagi. Andini mengangguk lagi, dengan manisnya. Lalu tertuju pada genggaman tangan mereka berdua,
“Mas Abdul, kalau mau jadi anak pesantren, nggak boleh pegangan tangan sama yang bukan muhrim, lho..”
Spontan, tangan mereka pelan terpisahkan. Keduanya kemudian menatap bulan di atas, padahal tidak jelas, kelabu tertutup awan polusi. Namun, satu bulan ini yang akan menjadi satu-satunya pelepas rindu Andini nantinya..
***
[Masih di..] Pasar malam, di tengah kumuhnya Jakarta, dihimpit gedung tinggi pencakar langit berdebu.
Di depan karosel berkarat yang lampunya tetap redup dan remangnya menguning mirip senja.
Teringat lagi Andini terhadap janji-janji yang ia ingkari. Makin jijik Andini pada dirinya sendiri. Hanya diminta menunggu lima tahun, Andini tak kuasa. Keinginan dan rasa tanggung jawabnya akan memenuhi kebutuhan dirinya sendiri membuat ia ayo aja saat sadar dirinya terjebak di lingkaran sisi gelap Jakarta.
            Hanya diminta mendalami ilmu agamanya sendiri, semangat Andini tak terang. Sama tidak terangnya seperti karosel yang daritadi ia belakangi, sembari menunggu Om Amar menjemputnya. Iming-iming sepatu baru dan uang jajan lebih berhasil menarik Andini jatuh lebih dalam ke magnet dunia malam. Ironisnya, menjadi seorang pekerja seksual tidak pernah menjadi masalah untuk kedua orang tua Andini. Kemiskinan dan kemelaratan berpuluh tahun membutakan mata orang tua Andini.

            Kemiskinan dan kemelaratan warga Jakarta sekelas Andini yang terkena getahnya tikus-tikus berdasi. Tikus-tikus berdasi yang sekarang rutin menjadi klien Andini. Ah, ironis. Rasanya, hidup Andini dan keluarganya benar-benar berada di atas tangan tikus-tikus laknat..
            Cuman Mas Abdul yang menghargai Andini sepantasnya seorang wanita dihargai. Mas Abdul.. yang kabarnya hilang ditelan gelap. Lewat lima tahun, Mas Abdul tak kunjung balik menjemput Di, tak kunjung balik, mengajak Di membangun keluarganya sendiri.
            “Belajar pesantren apa kabur..” Andini menggumam kecil sambil membenarkan tatanan rambutnya.
            “..Andiniii..” tepukan mesra di bahu Andini membangunkan bulu kuduknya. Ia menengok pelan.
            “Oooh, Om Amar! Lama banget, sihhhh, om..” Andini memanja-manjakan nada suaranya. Makin jijik, jijik lagi Andini pada dirinya sendiri.
            “Iya, maaf, ya. Abis, supir baru. Aku ketiduran sebentar, dia langsung nggak tau arah.. katanya lama di Jawa, lupa dia sama seluk beluk Jakarta..”
            Tersenyum, kemudian Andini bangun dari duduknya. Disambut rangkulan Om Amar di pinggang, Andini berjalan. Pikirnya masih melayang akan Abdul.. dan Ibu Guru. Bertanya Andini, kenapa ujuk-ujuk kenangannya terbuka lagi setelah lama digembok, di pojok ruangan batin Andini.
            “Kamu nanti marahin aja, yaa, supir baruku, Andini. Gara-gara dia, tuh, aku jadi telat..”
Om Amar ngawur sembari membukakan pintu belakang sedan BMW-nya. Gelapnya dalam mobil menyala dengan terang dari lampu otomatis. Refleks, si supir baru yang sedari tadi disalah-salahkan Om Amar menengok kebelakang,
            Andini terbelalak.

            “Mas Abdul?” (*)

11th November 2012

0 comments:

Beratapkan Monas

10:42 PM Unknown 0 Comments


Bukan mau mereka bekerja tanpa alas kaki,
di usia belia yang harusnya dihabiskan sambil bermain-main,

Tapi tuntutan nasib yang mengharuskan mereka mengais rejeki dari orang-orang sekitar.

Buat mereka,
ini bukan masalah.
Yang penting makan, yang penting kenyang, yang penting hidup.

Buat mereka,
ini bukan masalah.

Padahal jelas ini masalah.

Bekerja di bawah umur, padahal jelas orang tuanya mengetahui hal tersebut.

Bukankah satu-satunya kewajiban yang harus mereka jalani ialah belajar?


Ke mana mata pemerintah dan para petinggi negara yang sudah mestinya menaungi mereka pada kehidupan yang nyaman, bukan hanya beratap Monas di malam yang bising?(*)


---------

'Beratapkan Monas' adalah puisi yang dibuat dalam waktu kurang dari 15 menit.. Hehehe. Sebenarnya puisi ini adalah teks film dokumenter tugas pelajaran Sosiologi waktu SMA,
tentang anak-anak jalanan yang ngamen malam-malam di Monas.

Aku lupa nama-nama mereka, tapi aku ingat malam itu kami duduk bareng sambil makan pop mie. Adik-adik itu senang bukan main ada yang 'menganggap' mereka sebagai manusia. Mereka cerita tentang rutinitas ditangkap Satpol PP, iya, rutinitas. 

Duh, jadi penasaran,
video dokumenternya disimpan siapa ya? ;(


4th July 2013 

0 comments:

Marriage

10:41 PM Unknown 0 Comments


OK so..' then he sips a lump of his coffee. His eyes gaze at mine, ominously but still glaring a smile. A forced smile, actually.

'What is it..?' I obviously can smell the burn of a little fire starting. This musn't be good. I remember that stare! The stare he gave to me many years ago every time I made a teeny weeny trouble and he found out. The stare that makes me feel like I'm a five year old girl in her piggy-tail hairdo, it brings my eyes kind of teary and frightened. The stare tells me, 'I've done something not right.'

He's implacable. In fact, he looks quite scary. Before I have the guts to look back into his eyes, he opens his mouth, I galvanized at the moment. He's starting to fire back at me,

'Do you think you love him?'

God, a head shot. I twist the ring of diamond strands round and round my right-hand finger. Do I love him? ..What is love, I ask myself. How should I define 'love', anyway? How should I convince myself, I LOVE him? It's supposed to be a question that should've been easily and quickly answered by a 26-year-old lady who is getting married by the next 3 days.


But why can't I?

4th July 2013 

0 comments:

10:40 PM Unknown 0 Comments

Perasaan ini sukar sehabis nyawa untuk dijelaskan.

Aku juga bersumpah tak tahu menahu datangnya darimana. Perasaan ini berkecamuk pasti di beluk jiwa yang pelan membusuk di dalam. 

Tapi,

biar yang pernah indah tetap jadi indah. 

Karena walaupun silam pernah hadir,

jika sudah sedikit terhapus,


tak akan sama sekalipun ditulis ulang..

22nd October 2013 

0 comments:

Kuat

10:39 PM Unknown 0 Comments

Matanya merah menangis,
Di dalam kalbu ia terdiam..
Tidak sepenuhnya ia kuat..
Sambil mengais tanah rambutnya terjatuh dari balik telinganya..
Sesenggukan sembari sinar mentari pula enggan menyemangati..
Menangis lagi ia lagi-lagi menangis,
Air matanya tidak ada yang turun dari pelupuk tapi sungguh ia menangis lebih keras dari kemarin..
Mencari tambatan untuk berpegang agar tidak linglung jemarinya terlalu lemah,
Ia lelah berpura-pura, ia lesu menjadi kuat,
Satu sisi balik jendela seberang namun ia sadar justru menjadi kuat adalah jalan hidupnya..
Karena dunia yang berputar dan air laut yang pasang surut tidak pernah peduli dengan letihnya,
Menjadi setangguh baja di belakang sehalus sutra, tidak ada yang mau tau..
Mereka hanya mau tau dan hanya peduli bangkitnya bukan jatuhnya..
Masih berdarah-darah ia kemudian bangun dari berlutut,
Terjatuh sekali lagi dalam gelap,
Sendirian.
Ia kuat.
Paling tidak untuk sementara, sampai ia jatuh lagi, kemudian kuat kembali.


Sendirian.

25th January 2014 

0 comments:

Apa, ya?

10:38 PM Unknown 0 Comments


Tentang rindu dan ragu yang dibatasi garis khayal.

0 comments:

Emperan

12:53 AM Unknown 1 Comments

Aku belajar berjalan di sisi emperan selatan Pasar Tanah Abang bagian kaset-kaset film luar negeri bajakkan.

Saat malam hari, ketika orang tidak lagi lalu lalang ramai membabi buta.

Telapak kakiku tidak bersandal, kasar dan kulitnya terlapis sekeras kulit kayu jati. Aku kebal dengan serpihan-serpihan tajam kecil yang tak jarang menyelinap kemudian terselip di sela-sela kulit halus telapak kaki bayiku.

Ayahku duduk jongkok berjarak sekitar lima ubin dekil dariku, tangan kirinya memegang rokok dengan elegan, jambulnya masih jambul model Rambo yang sebenarnya sangat ketinggalan jaman. Wajahnya cekung tapi senyum menyampul kelamnya. Asap yang mengepul-ngepul di atas rambutnya adalah tanda kejantanannya.

Tangan kanan ayahku diarahkan kepadaku, menyemangatiku untuk berjalan pelan.

Pinggangku dipengang ibu, parasnya tidak cantik tapi rupawan, giginya maju dan besar-besar. Rambutnya lurus indah karena sering dioles lidah buaya asli kerjaan Mbak Marni, tetangga kontrakan yang seorang kapster salon berkutu.

Tangan ibu agak mendorongku, maksudnya agar aku berjalan kembali dengan lancar ke arah ayah Rambo.

Dengan tergopoh-gopoh aku mencondongkan tubuhku lalu mengangkat kaki kanan, kuhentakkan.

Aku tertawa kecil, ayah dan ibu gemas. Selagi mereka tersenyum, aku berjalan ke arah ayah. Enam belas langkah, tanpa terjatuh.

Ayah dan ibu bangga padaku. Putranya sudah besar. Walaupun sebenarnya mereka sedang berharap-harap cemas. Putranya sudah besar. Sudah bisa berjalan.

Tak lama lagi bisa bicara.
Nanti banyak meminta.
Sebentar lagi makin pintar.
Putranya tiga tahun lagi harus disekolahkan.


Uang darimana?

1 comments:

Basa-basi

12:49 AM Unknown 0 Comments

Secangkir kopi terletak di antara kita,
Asapnya wangi mengepul, baunya pekat.
Mata kita tidak bertemu,
Tapi kita bicara.

Bicara tentang pagi tadi,
Bicara tentang siang yang baru lewat,
Bicara tentang padi yang jadi nasi,
Bicara tentang pagar yang berkawat.

Bicara tentang sore ini,
Dalam rangkaian-rangkaian kata yang bocor ke udara,
Dengan untaian kata-kata yang tidak puitis,
Bicara kita terus bicara tentang sore, tentang semua.

Di antara secangkir kopi,
Tenggelam dalam lembaran buku-buku sastra.

Yang sebenarnya pusing kita dibuatnya.

0 comments:

Sore Bingung

12:44 AM Unknown 0 Comments

Sore Bingung.

We messed up sometimes, didn’t we?
It’s a completely normal thing, isn’t it?
We made mistakes a lot, didn’t we?
It’s a living thing, isn’t it?

Bernafas sebagai seorang manusia—sebagai seorang Sore—tidak pernah mudah. Semerbak bau kopi hitam mengganggu hidungku yang kebingungan, maksudku, semua yang ada di dalam diriku sedang kebingungan. Karena si Sore sedang kebingungan juga.
Aku Sore, nama yang aneh dan membingungkan. Tidak dalam artian yang negatif, aku suka namaku.
Asap rokok yang mengepul memaksa air mataku hadir sedikit membasahi pelupuk mataku. Sial, padahal aku sedang tidak sedih, hanya sedang bingung.
Sedaritadi, aroma kopi hitam pekat yang warnanya seperti selokan di Kali Ciliwung, dan lalu lalangnya asap rokok kretek, I suppose, alih-alih malah membuatku merasa seakan berada di pangkuan almarhum ayah tersayang.
Sore-sore duduk anteng di pangkuan sosok laki-laki yang mengajarkanku tentang dunia. Aku yang tak tahu apa-apa tentang perbincangan ayah dan rekan-rekan seperjuangannya, kawanan supir truk besar. Orang-orang sangar dan badannya bau diesel adalah orang-orang terbaik.
Mereka tidak tahu rasanya berenang dalam kolam uang, mereka tidak mengerti bagaimana cara berpakaian rapih, mereka tidak mengerti tentang gemerlapnya dunia kelas atas, tapi mereka mengerti—menguasai—lebih dari siapapun orang di kota, tentang bagaimana memberi kehangatan dan kebahagiaan kepada seorang anak kecil perempuan, seorang putri dari supir truk.
Aku rindu ayah.. Aku rindu truk besarnya.. Aku rindu memaksanya membiarkanku duduk di jok depan pura-pura mengendalikan truk.. Aku rindu semuanya.
Sayang ayah harus dipanggil Tuhan duluan dengan kematian yang tak jauh karena truk besarnya..

Halah.. Susah payah belajar keras-keras supaya bisa menerobos kabur dari dekilnya masa tumbuh kembangku, kenapa sih, tetap ada beberapa hal membingungkan yang menarikku kembali ke kisah hidup satu itu?
Biarlah nanti dikenang lagi kalau memang dibutuhkan untuk ditulis di biografiku, “SORE, Habis Gelap Terbitlah Terang.”
…Ya, tentu saja itu tidak akan menjadi judul buku biografi yang kuimpi-impikan, itu hanya terlintas sekilas di kepalaku tadi.
Ibu-ibu setengah bapak di depanku ini, si Boss, tak kelar-kelar mengecek laporan audit keuangan perusahaan bulan ini. Sudah tiga belas kali beliau membolak-balikan halaman demi halaman, kaca matanya turun di tulang hidungnya yang runcing tapi ujungnya mirip  moncong binatang babi. Si Boss jarang bicara, aku bingung kenapa orang yang jarang bicara biasanya ada di posisi jabatan paling atas perusahaan. Atau mungkin karena mereka sudah hebat makanya jadi malas banyak bicara? Mungkin dulu waktu mereka masih muda dan seksi, seperti aku, si Sore, bicaranya juga banyaaaak sekali sampai-sampai bicaranya berhasil mengantarnya menjadi pemimpin perusahaan.
Ah, tapi, si Boss ini kabar burungnya mandul. Maksudku, kabar burung yang dimaksud adalah hasil dari rangkaian rantaian fakta yang tiba-tiba tersambung sendiri. Si Boss, umurnya 53 tahun, tidak punya anak, empat kali menikah tapi selalu kandas berujung di pengadilan untuk bercerai, helaian rambutnya sudah memutih dan kasar-kasar, panjang rambutnya tidak lebih dari tengkuk, badannya kurus kerempeng tapi posturnya tinggi.. Aku cukup yakin waktu si Boss muda dulu badannya bohay.
Buktinya, empat kali menikah?
Empat kali juga bercerai?
Pasti karena para mantan suami baru tahu belakangan kalau si istri alias si Boss ternyata mandul kan?
Bingung.
Tiba-tiba mata si Boss yang tajam layaknya elang melirikku, oh, sepertinya tanpa sadar mataku daritadi mengobservasi sosoknya terlalu lama.
OK, sorry boss. Segera aku pura-pura menatap jendela ruang kantor si Boss yang besar dan jernih. Pemandangan dari lantai 23 ini tak lebih dari garis horizontal gedung-gedung pencakar langit yang tersebar di mana-mana dan langit biru penuh terlukis awan tipis.
Oh, gerimis rupanya. Padahal langit terang bukan main.
Membingungkan. Kumiringkan kepalaku sedikit ke kanan mencermati gerimis yang makin deras tapi langit yang tak kunjung gelap di luar. Aneh...
“Sore,” suaranya tak kalah parau dari decitan pagar besi berkarat, si Boss akhirnya membuka mulutnya. Akhirnya.
“Oh, iya bu? Bagaimana?”
“Kamu boleh keluar ruangan saya sekarang.”
“…tidak ada yang perlu dikomentari bu..? Atau mungkin saya ada keliru sedikit, gitu?”
“Lho, kamu sendiri belum yakin sama laporan yang kamu buat?”
“Eh.. Saya yakin bu. Tapi—“
“Ya sudah. Silakan keluar sekarang.”
“…”
“Keluar, Sore. Saya tidak mau bertanya apa-apa, kamu juga tidak mau bertanya apa-apa. Kenapa belum keluar juga? Kamu mau curhat sama saya?”
“Nggak, bu. Terima kasih. Saya permisi dulu.”

Hampir dua jam aku rela menghirup asap rokok kretek dan aroma kopi hitam pekat yang paling kubenci, berharap mendapat sedikit pujian dari si Boss atau bahkan  kritik sekalipun aku terima!
Hanya disuruh keluar, begitu saja?
Kuangkat pantatku yang pegal bukan main dari kursi depan meja si Boss.
“Sore,” beliau membuka mulutnya lagi.
Yes! Pujian kah? Sebuah kritik? Apapun?!
“..Tolong minta office boy saya mau kopi hitam pekat lagi yang masih panas. Yang ini belum sempat saya minum keburu dingin. Nih, sekalian kamu bawa gelas saya ke dapur.”
…Bener-bener.
“Iya, bu. Nanti saya bilangin.. Saya permisi..”

Jawabku sambil melangkah lunglai dengan secangkir minuman yang paling kubenci sejagat raya di tangan kananku. Ah.. Sore yang aneh.. (*)

0 comments: