Tentang #AksiDamai dan Aku yang Masih Belajar

4:17 PM Unknown 1 Comments

Ini hanya short thought kemarin malam.
Kalau ada kawan yang kurang setuju, let's agree to disagree.
:)

Alright, 
as a communication student (biar gaya akh elah dikit), aku sudah belajar cukup banyak untuk memahami apa dan bagaimana serta tujuan media portrays something to shape society’s perspective towards somethingThe agenda of it is set, sebuah berita dikemas dengan sedemikian rupa agar dapat membentuk persamaan perspektif masyarakat kebanyakan kepada suatu hal yang diharapkan pihak pihak yang berkepentingan. Walaupun, ya katanya, independensi media massa tetap jadi nomor satu di atas kepentingan mana pun.

Sudah hampir seminggu berlalu, ratusan ribu Muslim berkumpul di DKI Jakarta untuk menyuarakan sakit hati mereka yang katanya, kitab mereka, agama mereka, dinistakan. Sang Langit diinjak injak, katanya. Kali ini aku tidak akan bahas tentang bagaimana menurutku kata kata Bapak Ahok sebenarnya tidak menjurus pada penistaan agama manapun, atau bagaimana suatu misinterpretasi atau pemaknaan kata dapat menggerakan massa dalam jumlah yang jelas tidak sedikit turun ke jalan memperjuangkan harga agama mereka.

Awalnya, aku yang masih banyak belajar ini segera memandang sebelah mata saudara saudara Muslim yang berjihad dengan melakukan demonstrasi. Bahkan, beberapa ustadz ternama tampil di televisi atau melalui platform media sosial sambil menitikkan air mata karena sedih merasa kitab sucinya dihina seenak jidat. 
‘Lebay’, kataku. 
‘Fanatik’, ucapku.
‘Kok bodoh nggak kira kira’, ujarku.
Namun, aku yang lagi lagi masih perlu banyak belajar ini berusaha menengok sana sini, mencari informasi, dan mencoba memakai sepatu mereka, saudara Muslim yang tersinggung.

Memang, sudah bukan rahasia umum bahwa ini sebenarnya hanyalah settingan politik pihak yang sedang kocar kacir, yang tidak suka dengan kejayaan Ahok. Sudah bukan rahasia umum bahwa seluruh fenomena ini ada mastermindnya. Bagaimana caranya, Ahok digulingkan, tergulingkan, kalau perlu menggulingkan diri!

Aku bukan seseorang yang religius, aku seorang Muslimah yang auratku pun belum aku tutupi, aku hanyalah seorang Muslimah yang ibadahnya masih coreng moreng. Seharusnya aku tidak layak untuk bicara bahwa apa yang mereka lakukan sepenuhnya salah. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi kaki mereka bergerak ke Bundaran HI pada hari 4 November itu beramai ramai. Ada panggilan nurani yang mereka dengar dan mungkin tidak bisa aku pahami. Agama, bisa dikatakan sebagai identitas seseorang yang paling kuat. Maka hal yang wajar apabila kesalahpahaman ini dapat dengan mudah menggerakan ratusan ribu massa yang sakit hati.

Namun yang menjadikan aku sedih dan ikut sakit hati, di antara mereka yang terpanggil jiwanya untuk memperjuangkan nama baik agama, ada preman beratribut tipikal yang dibayar untuk menciptakan kerusuhan. Ada orang jahat berpakaian putih yang dijanjikan entah apa untuk menyulut kebencian. Di belakang para Muslim yang memiliki good purpose and good intention untuk membela habis habisan agamanya, yang jauh datang dari pulau seberang untuk menyuarakan haknya sebagai Muslim dan Warga Negara, ada mereka yang lain.

Mereka yang sedang tertawa, yang menggunakan sulut api lewat nama agama, mempermainkan kepercayaan dan panggilan nurani Muslim yang sepenuhnya rela mati untuk agama. Mereka yang sedang puas, karena rencananya berjalan dengan baik. Ada puppeteer, yang sedang memainkan tali boneka puppet, yang tidak sadar sedang dijadikan sebuah drama terskenario.

Politik, halal kah?


1 comments:

Re: Re: Re: Jangan Jadi Rumah—kepada Arum, Bia, dan Perempuan Petualang Lainnya.

5:16 PM Unknown 0 Comments

Halo Bia dan Arum,

Sebelum memulai tulisan yang jauh kalah indah dari kata-kata yang kalian rangkai saling berbalas, aku dan dengan segala kerendahan hati udara Jatinangor boleh kan ikut bicara tentang isi surat kalian?

Shabia dan Arumdriya, perlukah aku bertutur tentang betapa aku merindukan kalian? Kalian adalah dua sosok wanita kedambaanku, tipe perempuan yang menjadi oase bagi dahagaku, tiap huruf yang tertuang dari pikiran cantik kalian selalu membuatku tercengang. Arum dan Bia, pertemuan kita selalu singkat. Oh, dan Bia, bahkan aku baru bertemu kamu sekali. Entah sihir atau susuk apa yang ada pada jiwa kalian, namun aku selalu merasa dekat dan akrab dengan dua perempuan kesayangan Jogja ini. Semoga aku tidak bertepuk sebelah tangan ya.

Kudapati kalian saling bertukar surat, Arum juga cerita kalau kalian tidak sengaja dipertemukan di salah satu pojok kota Yogyakarta. Arum, sampaikan maafku pada Bia karena gagal merencanakan ketemuan di Jakarta bulan silam kemarin (Bia, maaf ya). Aku tersenyum tiap membaca surat-surat yang kalian tulis. Tanpa mengabaikan makna lain dari tulisan kalian, yang paling menarik perhatianku adalah kalimat-kalimat yang kalian tukar membincangkan kekasih dan menjadi rumah untuk mereka.

Arumdriya dan Shabia, siapalah aku untuk bicara tentang Koentjaraningrat, Gusti Noeroel, atau obrolan-obrolan kelas tinggi yang sering kelabakan aku dibuatnya. Siapalah aku untuk ikut campur dalam percakapan kalian yang lahir dari pikiran agung dua wanita anggun (iya, kalian). Akan tetapi, bolehkah sekali ini saja aku ikut buka mulut tentang kekasih, rumah, dan patah hati?

Arum dan Bia, bukan lagi sebuah rahasia bahwa aku pernah patah hati, atau masih patah hati? Surat ini aku tulis bukan untuk mencari perhatian siapapun, murni aku rangkai karena gemas ingin ikut berkisah mengenai malam-malamku yang terjaga karena seorang laki-laki. Patah hati bukanlah dosa, patah hati adalah suatu fase manusia sebagai makhluk mortal yang menurutku harus dialami dalam proses menjadi seutuhnya. Aku pernah melewati malam-malam dingin, saat harus tidur dengan pikiran terbangun dan harus bangun dengan semangat yang tertidur.

Saat patah hati, citra diri yang selama ini susah payah kubangun runtuh seketika. Aku yang selalu mengagumi kirana mentari yang menerobos luang-luang dedaunan malah jadi mengutuk silaunya. Aku yang kerap menganggap embun yang mengabutkan jendela mobilku adalah sambutan dari alam sebelum memulai hari malah jadi menggerutu karena kerepotan terhalang jarak pandangnya. Semua begitu kacau, balau, berantakan. Betapa aku ingin sesak di dadaku hilang; semakin berat justru untuk mengambil nafas.  Bia, Arum, saat dia kubiarkan pergi aku kira dia akan kembali seperti dulu-dulu. Karena sejuta kali ia memandangku lekat-lekat, menenggelamkanku dalam kehangatan fananya, kemudian ia berbisik namun menegaskan,

Adey, kamu adalah rumah. Seberapa jauh aku pergi, melanglang buana, atau mampir kesana kemari, kamu adalah rumah. Dan aku pasti kembali, karena kamu, adalah, rumah.”

Kalimat yang ia tiupkan sejuta kali itu dulu membuatku terlena, setia duduk di ‘rumahnya’ lalu menunggu, menunggu, dan menunggu. Benar saja, ia pergi, melanglang buana, mampir kesana kemari, namun belum juga kutemui ia kembali. Dulu aku agungkan rumahku dan dia, sebuah sandang yang terletak di suatu sabana, satu-satunya tempat menanggalkan lelah dan menanggalkan ‘topeng’ yang dipakai di luar rumah. Dulu aku banggakan rumahku dan dia, sebuah rumah kayu yang dipadati aroma lavender, satu-satunya di planet Bumi untuk dia melepas penat dan wibawanya.

Konsep rumah yang ia janjikan padaku dulu membuatku terhipnotis, manis duduk di ‘rumahnya’ lalu menunggu, menunggu, dan menunggu. Benar saja, ia pergi, melanglang buana, mampir kesana kemari, namun tidak juga kutemui ia kembali. Apabila aku khawatir dan mulai ragu akan janjinya, kadang aku keluar rumah dan melakukan perjalanan kecil ke kantor pos. Aku tulis surat rindu yang penuh tanya, menanyakan kapan ia akan kembali, kenapa ia tidak kunjung kembali?

Tidak lama, biasanya kutemukan surat balasan darinya dengan kalimat yang masih sama titik komanya:

Adey, kamu adalah rumah. Seberapa jauh aku pergi, melanglang buana, atau mampir kesana kemari, kamu adalah rumah. Dan aku pasti kembali, karena kamu, adalah, rumah.”

Pula ia meyakinkanku bahwa jarak yang terbentang di antara kami justru akan menjadi pemanis hubungan kita. Dan tidak jenuhnya ia memintaku untuk tenang, untuk duduk manis menunggunya di rumah, karena ia pasti akan kembali.

Hingga rumput yang bergoyang menyampaikan suatu rahasia dalam diamku menunggu di rumah, rumput bergoyang itu menganginkan berita bahwa kekasihku pergi, melanglang buana, mampir kesana kemari kerumah yang bukan rumah kami. Tidak hanya satu kali. Bukan main aku tersentak. Segera aku berlari keluar rumah dan semakin aku tersentak.

Rumah, katanya?

Ternyata rumahku bukan rumah kayu yang hangat, melainkan kayu berjamur dan lembab bukan main. Lalu, rumahku bukan sebuah sandang yang terletak di suatu sabana, tapi sebuah kandang yang bertempat di padang rumput kering kecoklatan.

Tahukah, setelah menenangkan diri dan menarik nafas panjang aku menangis. Aku terbuai dengan konsep rumah, aku menunggu, menunggu, dan menunggu. Aku dijadikan rumah, sebuah objek. Bia atau Arum, bukan berarti aku menentang keras untuk dijadikan sebuah rumah. Justru menurutku itu tetap menjadi lambang pujian tertinggi saat seseorang nyaman dengan kita. Hanyalah, aku ingin menegaskan jenis rumah yang tidak boleh kalian tempati.

Bia, izinkan aku mengutip tulisanmu untuk Arum,

Mungkin kamu sudah menyadari, Arum, bahwa bukan lelaki kita saja yang mengembara? Kita, perempuan, juga mengembara dengan cara kita sendiri. Kita tidak seperti dia, tentu – mungkin dia akan pergi ke laut dan gunung, ke orang-orang yang tidak beruntung, seperti katamu, menyelami buku, dalam kasusku, sementara kita akan lebih banyak pergi ke padang bunga, ilalang di bawah bintang, kertas-kertas puisi, mengais hidup di antara orang-orang dibanding teori-teori (Oh ya, bukan berarti kita tidak bisa ke gunung dan demikian sebaliknya). Kita juga mengembara. Dan kita membawa rumah juga dalam diri kita.”

Ya, dari kisahku sebagai rumah waktu itu aku belajar banyak. Aku tidak lagi mau menjadi sekedar rumah. Aku tidak mau hanya menunggu kekasih untuk makan malam di rumah. Aku sudah terlalu sering dan selalu menunggu kekasih untuk makan malam di rumah. Aku bukanlah tempat untuk kembali setelah kekasih pergi, melanglang buana, mampir kesana kemari.

Aku bukan rumah.

Arum dan Bia, never settle for less. Temukanlah dan jadilah seseorang yang tidak mau dijadikan tempat singgah untuk makan malam, kalian bukan rumah. Aku tidak lagi mau menjadi rumah untuk seseorang. Sama dengan Bia dan Arum, kalian lebih dari itu. Jangan ulangi kesalahanku, jangan terlelap dalam untaian kata yang menjadikan kalian ‘rumah’. Kalian lebih dari itu, kalian adalah dan harusnya menjadi rekan lancong.

Arum, jangan bangun rumah untuk seorang petualang yang bahkan segan untuk singgah. Kamu petualang, Rum, kamu pelancong.

Dengan kaki-kaki yang sama kuatnya dengan hati kalian, jadilah pelancong. Kalau kekasihmu masih memiliki pola pikir dan menyebut kalian sebagai sekedar ‘rumah’, jangan bukakan mereka pintu. Jangan jadi tempat singgah untuk makan malam setelah kekasih kalian pergi, melanglang buana, mampir kesana kemari saat kalian dipaksa untuk duduk menunggu di rumah. Jangan lagi buka pintunya. Saat ia kembali datang mengetuk pintu rumahmupertahanan terakhirmu— aku harap kalian sedang makan malam dengan seseorang yang baru saja pergi melancong dengan kalian. Seseorang yang menjadikan kalian rekan lancong, memperlakukan kalian sebagai seorang manusia, bukan sebagai objek seperti rumah.

Seseorang yang membawa kalian saat melancong, seseorang yang kalian ajak melancong. Seperti aku, aku tidak mau duduk lebih lama lagi menunggu kekasihku pulang kerumah. Aku, kalian juga, Bia, Arum, adalah lebih dari itu. Kalian adalah lebih dari menunggu. Pergilah, melanconglah dengan ia yang mengajak kalian mengembara.

“…mungkin dia akan pergi ke laut dan gunung, ke orang-orang yang tidak beruntung, seperti katamu, menyelami buku, dalam kasusku, sementara kita akan lebih banyak pergi ke padang bunga, ilalang di bawah bintang, kertas-kertas puisi, mengais hidup di antara orang-orang dibanding teori-teori,”

Tidak harus satu tujuan, tapi paling tidak, salinglah mengecup bibir yang mendoakan keselamatan atas nama kesetiaan, sebelum anyaman tangan kalian dan kekasih terpisah di depan pintu rumah kalian;

Rumah yang dibangun bersama. Rumah yang menjadi tempat makan malam untuk berdua, setelah lelah melancong bersama. Rumah dengan dapur yang menjadi saksi kisah kalian, sepasang pelancong yang memasak makan malam bersama.

Barulah, jadilah rumah.


Click to read their beautiful writings:

Arum

Shabia


0 comments:

Jatah Bahagia

2:52 AM Unknown 0 Comments

Bahagia itu hak seorang mafia tukang jagal orang sekalipun.
Tiap insan punya jatah-jatah bahagia yang tidak terbatas. Yang terbatas ialah prahara dan huru-haranya.
Jika ingin bahagia, jangan keluarkan sangsi atau dengki bila ada yang bahagia.
Kamu tenang-tenang saja,
kan aku sudah bilang..
Jatah bahagia itu tidak akan habis, kok.
Bisa diambil kapan saja,
tidak perlu pakai ada urusan administrasi segala.
Nah, kamu kapan mau ambil bahagiamu?

Tapi kalau sudah ada waktu,
jangan rakus-rakus ya.
Walaupun sumurnya tidak akan kering,
tapi kalau kamu egois dan serakah,
raup banyak-banyak bahagia di saat yang bersamaan..,

Emangnya kamu punya kantong belanja bahagia sebesar apa untuk dibungkus pulang?
Hati-hati kalau borongnya tidak tahu malu,
nanti bahagiamu banyak terjatuh di jalan dan jadi debu.

Jadi santai aja ya,
kalau mau bahagia.

Sambil menulis ini aku doakan juga bahagia untuk semua yang sedang di jalan mengambil jatah bahagianya.
Atau yang lagi di jalan pulang seusai tarik saldo dari rekening bahagia.

Aku jadi nggak sabar bahagia.

15 Juni 2016




yang ambil fotonya Boni.
yang difotonya aku.

0 comments:

tapi kapan?

1:00 AM Unknown 0 Comments

tentang laman-laman kelam yang lama-lama terhapus.
ampun-ampunan ingin minta angin menghembus.
padahal berserak sudah kertas surat renjana bekas.
ibadah mengajak Tuhan bicara doa agar lepas.

kandas semua saat sangsi hadir berkunjung deras.
apalah daya selama Alam belum restu?
pikirnya potret-potret lama biar saja tetap ada..
apa kataku, memang harusnya dari awal dibakar saja.
nanti waktu bubur bisa jadi nasi, katamu.

tertulis 13 november 2015
disunting tujuh bulan kemudian.


0 comments:

A Quest: Puzzling the Heartbreak

8:17 PM Unknown 0 Comments

This will be another encouragement letter shouting out to you, all of you with those eye bags you cannot get rid of due to the endless crying, asking to yourself,

"Did I make a wrong decision?"
"Did I just make a mistake?"
"Should I text/call him?" --DON'T. 

Writing this one is also a challenge for me, well, no. Not the writing, but the publishing. But then I think to myself 'what a selfish girl' if I keep this thought zipped forever in my journal. 

So here's,
to you.

Who had just recently broke up, victims of hit and run kind of love, and the feeling of devastation is inevitable. I welcome you to my #breakupsurvivalkit, my thoughts during the apocalypse--at least that's how the world felt to me at that time.

----------

Chin up, you little lost sleepless souls. This is not the end of the world. 

Repeat after me,

"this is not the end of the world."

Trust me, I've been there. Long, long time ago.
You know what, I'm not gonna tell you shit to let go, move on, and start again.
I'm not gonna remind you how precious you are and how you cannot let one prick ruins your life.
I'm not gonna ask you to get up that sad ass off the couch. 

Why, you ask?

Because I know. Because I have been there.
Because I have no idea about the morning texts he used to send you paragraphs every morning, because I have no clue about how you used to spend lazy Sundays with him, because I do not know the way he held your hand in a crowded place,
so I have no rights to tell you shit to let go, move on, and start again.

Although yes, I will still remind you how precious you are and how you cannot let one prick ruins your life, eventually.

But I will invite you to a quest, a searching of your missing puzzle pieces.
Breaking up with someone is never easy. But it will be worth it, especially if you believe that 'everything happens for a reason.'

The first two weeks will drive you crazy. 

I know you lost your appetite, because even pizza reminds you of how he used to take you out on Saturday nights to the nearest pizza restaurant.

I know your eyes get all blurry while reading a book, because even your favorite thing to do in this whole world reminds you of how books connected his and your interest.

I know you can't sleep at night, that, reminds me of one phase where I cannot sleep because my thought is fully awake. 

Yet the next morning I woke up with a dying soul, wishing to stay longer in my sleep where I was finally able to forget all the pain.

fase tidur dengan pikiran terbangun dan bangun dengan semangat yang tertidur.

I know you stare too long at your smartphone, the hunger of waiting for a text that will never ever come (you do know that he's not going to text you, don't you?)

Stop wanting to hear the juiciest update about him, stop scrolling down your screen and 'accidentally' stopped by on his Instagram feed.

However, (preferably) sooner or later, you'll find those missing puzzle pieces that you've been looking for, but you never found one. 

You'll find the first piece slipped in your pink sofa, —that's your confidence.
Another piece found inside your most worn pair of jeans' left pocket, —that's your bravery.

Found another again inside your black laptop case, —that one is your curiosity and creativity.

You haven't find it all, indeed. 

Yet with that glimpse of faith you hold and as your eyes started to open, the next days of yours will be full of stumbling upon the missing puzzle pieces. 

To your surprise, you'll find them in places you never thought, because back then you were too blinded to see clearly.

Remember this, why would you waste your precious day to grieve over somebody? Well, I never forbid myself to grieve, it's a part of human nature to overcome a trauma, but I do not let it consume me.

Allow yourself to grieve, but don't let it consume you.

In the end, throw away all your negativity. Grow up, princess. Put relationship to the very bottom of your priority list. Accept that he's a past, a past that you can't take back.

Have anyone told you that you're very brave to finally put this damaging relationship to an end? Why why what a super girl.You finally realized that you're too good to be a sidekick, I knew it! Now, focus on finding those missing puzzle pieces. Every piece you collect will help you to improve becoming a better woman. An intelligent, open-minded, brave, leading, cheerful, respectful, beautiful woman like you've always dreamed of.

Oh, look. Another piece, that's your adorable smile, found lying exactly next to your favorite perfume. How can you never see it there?

Dear dear, enjoy the searching until you find your very last missing puzzle piece. I would say, the quest will be over only if you have found these three puzzle pieces in order: forgiveness, acceptance, and happiness.

The quest; it's all phases to happiness. Find your own calling, avoid the things that make you sad. Don't be angry all the time. Forgiveness is the key to let go, acceptance is the key to move on. Then, happiness will follow.

Anyway why wouldn't you, instead, use the energy to find another missing puzzle pieces?

Cheers,
to the afterthoughts of a post heartbreak.


P.S: good luck finding the puzzles!



0 comments:

Tanda Tanya

6:02 PM Unknown 4 Comments


Tanda tanya,
kepada manusia yang mengagung-agungkan agama,
namun bukan pada Tuhannya.

Tanda tanya,
kepada keturunan Adam yang mengatasnamakan agama dalam segala aksi
-- "atas nama Tuhan", 
padahal tengah menguliti daging saudaranya sendiri.

Tanda tanya,
kepada hewan berakal yang melaknat perbedaan sesama,
karena berlainan konsep surga.

Tanda tanya,
kepada bentuk akhir seekor kera yang bersujud pada agama
oleh apa yang sesungguhnya ia telah capai dan gapai.

Tanda tanya,
kepada homo sapiens yang mengelukan kesucian dengan lencana agama tersemat bangga di dada kiri,
padahal siang tadi menerobos lampu merah sambil mencerca nama binatang.

Tanda tanya,
kepada saudara-saudari yang tidak lagi berbicara karena terbatasi garis tipis yang dibata,
katanya beda agama.

Tanda tanya,
kepada jiwa-jiwa yang mengiyakan apa yang belum diiyakan dengan batin.

Tanda tanya, 
kepada seorang gadis yang terjaga mempertanyakan kemurnian agama-agama yang menjadi bau dinodai nafsu bengis manusia.

Tanda tanya,
kepada apa-apa yang sedang dipertanyakan,
yang katanya hanya butuh dipercaya.





tertulis tiga april duaribu enambelas.

silakan dipertanyakan.

Tuhan tidak pernah melarang hamba-Nya untuk bertanya.

Tuhan Yang Maha Besar tidak akan pernah takut oleh pemikiran hamba-Nya.

4 comments: