Katanya,
Katanya,
Katanya—sebenarnya
‘nya’ itu siapa sih?—jangan pernah membandingkan diri sendiri dengan orang
lain, karena tiap insan adalah diberkati jalur balap sendiri-sendiri, melawan
arus di sungai yang bukan milik insan lain.
Alihnya,
adalah bijak untuk membandingkan diri dengan diri sendiri di masa yang telah
silam. Klisenya, dengan kamu yang kemarin. Apakah ditemui dirimu yang tengah
berkedip hari ini ialah lebih apik dari sosok yang telah didahulukan?
Entah apa pula
tolak ukurnya, tapi sebagai manusia setengah matang yang jauh dari kata jenius,
mari aku beri contoh yang sederhana;
Misalnya tiga
semester lalu kamu sukanya bangun siang, selalu bolos ibadah Subuh, persetan
dengan mandi segera loncat ke kampus.
Kemudian, kamu
temui kalau belakangan ini yang kamu jumpai saat bangun tidur adalah jarum jam
di angka 5, mengindahi ibadah Subuh, usainya tidak lagi hadir rasa ngantuk sehingga kamu hadirkan air mandi
agar segar sebelum ke kampus.
Hal-hal
sederhana, entahlah, empat triwulan sebelum matahari ini atau kemarin sekali,
jika dibandingkan dengan waktu ini juga, adakah kamu lebih baik?
Adakah?
Jika yang
tersua adalah sebuah ‘iya’, hore! Aku turut senang.
Namun apabila
yang tercermin adalah sesak, menemukan ternyata sosokmu yang dulu lebih elok
dan yang kau dapati saat memandang kaca sekarang adalah seonggok kegagalan;
Sini,
Kemarikan
tanganmu.
Sekarang
hadapi cermin di depanmu,
yang kau
anggap adalah seonggok kegagalan,
justru begitu
rupawan, begitu manusiawi.
Kalau boleh
aku beri bicara,
tidak usah
tergesa dan merasa ada di rana mendapati sosokmu yang dulu seperti lebih
bersinar, aku juga tidak akan ngomong: ‘dulu
saja kamu bisa, masa’ sekarang
begini?’
Tidak akan
mampu, dan tidak layak diperjuangkan.
Mari anggap
saja sosokmu yang dulu itu manusia lain, orang lain,
jadi jangan
repot ingin jadi seperti dulu.
Temui pasir
pada gurun, dalam lampaunya ialah kawanan bebatuan yang gagah, macam tak
terkalahkan. Namun kelamaan ia lapuk pada waktu, tertempa terik pula tergeming
angin.
Hingga
terkikis, halus, ia bukan lagi yang terkisah gagah; melainkan koloni pasir yang
lembut.
Bukan lagi
batu yang kerasnya dapat merenggut nyawa; sekadar pedih di mata apabila
diterbangkan.
Tetapi,
pernahkah sang gurun pasir menyesali hilangnya jejak kegagahan saat waktu belum
menerjang, tatkala tubuhnya masih batu—keras dan galak?
Gelengnya: tidak.
Karena gurun
pasir mengamini sosoknya yang kini,
ia paham betul
kegaduhan apa yang bisa ia bawa:
sebuah badai;
yang mampu mematikan kota semegah Dubai.
Paham?
Berhenti
membebani diri agar kembali jadi batu,
agungkan kamu
yang sekarang pasir,
ciptakan
badaimu.
Dear Adhia Rana,
ReplyDeleteBagus sekali, aku tunggu tulisan lainnya!❤ ❤