Katanya,

10:03 PM Unknown 1 Comments

Katanya,

Katanya—sebenarnya ‘nya’ itu siapa sih?—jangan pernah membandingkan diri sendiri dengan orang lain, karena tiap insan adalah diberkati jalur balap sendiri-sendiri, melawan arus di sungai yang bukan milik insan lain.
Alihnya, adalah bijak untuk membandingkan diri dengan diri sendiri di masa yang telah silam. Klisenya, dengan kamu yang kemarin. Apakah ditemui dirimu yang tengah berkedip hari ini ialah lebih apik dari sosok yang telah didahulukan?

Entah apa pula tolak ukurnya, tapi sebagai manusia setengah matang yang jauh dari kata jenius, mari aku beri contoh yang sederhana;
Misalnya tiga semester lalu kamu sukanya bangun siang, selalu bolos ibadah Subuh, persetan dengan mandi segera loncat ke kampus.
Kemudian, kamu temui kalau belakangan ini yang kamu jumpai saat bangun tidur adalah jarum jam di angka 5, mengindahi ibadah Subuh, usainya tidak lagi hadir rasa ngantuk sehingga kamu hadirkan air mandi agar segar sebelum ke kampus.

Hal-hal sederhana, entahlah, empat triwulan sebelum matahari ini atau kemarin sekali, jika dibandingkan dengan waktu ini juga, adakah kamu lebih baik?

Adakah?

Jika yang tersua adalah sebuah ‘iya’, hore! Aku turut senang.

Namun apabila yang tercermin adalah sesak, menemukan ternyata sosokmu yang dulu lebih elok dan yang kau dapati saat memandang kaca sekarang adalah seonggok kegagalan;

Sini,

Kemarikan tanganmu.

Sekarang hadapi cermin di depanmu,
yang kau anggap adalah seonggok kegagalan,
justru begitu rupawan, begitu manusiawi.

Kalau boleh aku beri bicara,
tidak usah tergesa dan merasa ada di rana mendapati sosokmu yang dulu seperti lebih bersinar, aku juga tidak akan ngomong: ‘dulu saja kamu bisa, masa’ sekarang begini?’

Tidak akan mampu, dan tidak layak diperjuangkan.

Mari anggap saja sosokmu yang dulu itu manusia lain, orang lain,
jadi jangan repot ingin jadi seperti dulu.

Temui pasir pada gurun, dalam lampaunya ialah kawanan bebatuan yang gagah, macam tak terkalahkan. Namun kelamaan ia lapuk pada waktu, tertempa terik pula tergeming angin.
Hingga terkikis, halus, ia bukan lagi yang terkisah gagah; melainkan koloni pasir yang lembut.
Bukan lagi batu yang kerasnya dapat merenggut nyawa; sekadar pedih di mata apabila diterbangkan.

Tetapi, pernahkah sang gurun pasir menyesali hilangnya jejak kegagahan saat waktu belum menerjang, tatkala tubuhnya masih batu—keras dan galak?

Gelengnya: tidak.
Karena gurun pasir mengamini sosoknya yang kini,
ia paham betul kegaduhan apa yang bisa ia bawa:
sebuah badai; yang mampu mematikan kota semegah Dubai.

Paham?
Berhenti membebani diri agar kembali jadi batu,
agungkan kamu yang sekarang pasir,

ciptakan badaimu.

1 comment:

  1. Dear Adhia Rana,

    Bagus sekali, aku tunggu tulisan lainnya!❤ ❤

    ReplyDelete