Tamu Hujan di Bulan Juni
Kamar mini ini tidak pengap, diselamatkan oleh jendela geser besar yang menggagahi satu sisi dinding menghadap balkon. Di antara semua keasingan yang saya harap tidak abadi ini, membuka lebar jendela geser dan menyambut elemen alam untuk ikut berteduh di kamar adalah wujud kenyamanan yang langka. Seperti udara sejuk yang barusan mengetuk izin bertamu, juga tampias air hujan yang tengah melepas alas kakinya untuk turut berkunjung. Dedaunan pohon sedari tadi hanya mengangguk-angguk sopan sembari meminta maaf tidak bisa ikut bertamu.
Ada begitu banyak pertanyaan yang menolak untuk diam berlarian di kepala saya. Keramaiannya bertolak belakang dengan pemandangan yang saya jumpai di ujung mata. Dari lantai lima asrama, sejauh mata saya mampu memandang; Tokyo sedang begitu tenang dengan rintik hujannya. Minggu kedua bulan Juni datang ditemani musim hujan pendek sebelum musim panas bertugas. Seketika saya teringat karya Sapardi, Hujan Bulan Juni.
Saya penikmat kata, namun sebelum menulis ini pun saya belum sempat mengobrol dengan Hujan Bulan Juni. Namun, kali ini saya coba berbincang dengan Hujan Bulan Juni dan menelaah tiap katanya. Bahwa “tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni” yang merahasiakan rindunya kepada pohon berbunga (itu), juga tak ada yang lebih bijak (dari hujan bulan Juni) yang menghapus jejak langkahnya yang ragu di jalan (itu). Bagi saya, pemaknaan pada karya sastra adalah bagaimana pembaca menelanjangi tiap baitnya hingga terjalin relevansi yang menjembatani perasaan penulis dengannya. Kokoh atau tidaknya jembatan yang terbangun tergantung pada seberapa pembaca merasa senasib dengan penulis, atau bagaimana ia merasa tahu betul apa yang diluapkan oleh penulis pada kata-katanya.
Entahlah, tetapi saya mendapati bibir tersenyum kecut saat berkesempatan menelanjangi Hujan Bulan Juni milik Sapardi. Saya seakan bisa membaui ketidaktenangan Sapardi pada per spasi yang ia imbuhkan. Baunya familiar, yang sudah saya hirup sedari tadi pagi, ketidaktenangan yang lebih dulu bertamu sebelum udara atau air hujan. Ketabahan hujan bulan Juni yang berusaha merahasiakan perih dari pohon berbunga akrab dengan ia yang diam namun kepalanya kalang kabut dengan kekhawatiran yang bahkan tidak berwujud. Kebijakan hujan bulan Juni yang menghapus jejak kaki yang ragu kenal dekat dengan ia yang mempertanyakan ratusan kenapa dan mengapa namun tetap harus tegar mendongakkan kepalanya.
Hujan di bulan Juni versi saya adalah pengulangan episode acak yang bercerita tentang lelah yang jelas tidak datang dari kurang tidur.
Seperti ada pegal yang tengah bertandang di kedua pundak atau kerut di jidat ia yang tengah kebingungan, darimana ketidaktenangan ini datang padahal tidak diberi masuk?
Hujan di bulan Juni hari ini adalah mendapati diri tersesat atas ketidaktenangan yang tiba-tiba menggerogoti, memaksa yang digerogoti berpikir keras sembari meminta kekuatan rintik hujan bulan Juni untuk berbagi ketenangan.
Padahal sudah lama ia tidak berkunjung, dua minggu lalu sebelum hujan bulan Juni datang, sepanjang langkah yang dijejak hanya tercium bau musim panas dan keceriaan.
Padahal sudah lama ia tidak berkunjung, dua minggu lalu sebelum hujan bulan Juni datang, sepanjang langkah yang dijejak hanya tercium bau musim panas dan keceriaan.
Hujan di bulan Juni, darimana kamu mengenal tamu yang tengah berkunjung ini?
Berbisik, Hujan Bulan Juni menjawab,
Ketidaktenangan tidak sedang bertamu.
justru tidak ada yang sedang bertamu selain sejuk dan air hujan,
ketidaktenangan bukan semata datang dengan sengaja,
Hanya, ia menempati ruang kosong yang hadir karena kekosongan Tuhan
pada tiap ragu dan rindu,
pada tiap ragu dan rindu,
yang kemudian kekosongannya,
diduduki ketidaktenangan.
diduduki ketidaktenangan.
Hujan di bulan Juni, dengan ketabahan dan kebijakannya, mengantar segala bentuk rindu.
Segala; hingga rindu yang ghaib.
1 comments: