Re: Re: Re: Jangan Jadi Rumah—kepada Arum, Bia, dan Perempuan Petualang Lainnya.
Halo Bia dan Arum,
Sebelum memulai tulisan yang
jauh kalah indah dari kata-kata yang kalian rangkai saling berbalas, aku dan
dengan segala kerendahan hati udara Jatinangor boleh kan ikut bicara tentang
isi surat kalian?
Shabia dan Arumdriya, perlukah
aku bertutur tentang betapa aku merindukan kalian? Kalian adalah dua sosok
wanita kedambaanku, tipe perempuan yang menjadi oase bagi dahagaku, tiap huruf
yang tertuang dari pikiran cantik kalian selalu membuatku tercengang. Arum dan
Bia, pertemuan kita selalu singkat. Oh, dan Bia, bahkan aku baru bertemu kamu
sekali. Entah sihir atau susuk apa yang ada pada jiwa kalian, namun aku selalu
merasa dekat dan akrab dengan dua perempuan kesayangan Jogja ini. Semoga aku
tidak bertepuk sebelah tangan ya.
Kudapati kalian saling
bertukar surat, Arum juga cerita kalau kalian tidak sengaja dipertemukan di
salah satu pojok kota Yogyakarta. Arum, sampaikan maafku pada Bia karena gagal
merencanakan ketemuan di Jakarta
bulan silam kemarin (Bia, maaf ya). Aku tersenyum tiap membaca surat-surat yang kalian tulis.
Tanpa mengabaikan makna lain dari tulisan kalian, yang paling menarik
perhatianku adalah kalimat-kalimat yang kalian tukar membincangkan kekasih dan
menjadi rumah untuk mereka.
Arumdriya dan Shabia, siapalah
aku untuk bicara tentang Koentjaraningrat, Gusti Noeroel, atau obrolan-obrolan
kelas tinggi yang sering kelabakan aku dibuatnya. Siapalah aku untuk ikut
campur dalam percakapan kalian yang lahir dari pikiran agung dua wanita anggun (iya, kalian).
Akan tetapi, bolehkah sekali ini saja aku ikut buka mulut tentang kekasih,
rumah, dan patah hati?
Arum dan Bia,
bukan lagi sebuah rahasia bahwa aku pernah patah hati, atau masih patah hati?
Surat ini aku tulis bukan untuk mencari perhatian siapapun, murni aku rangkai
karena gemas ingin ikut berkisah mengenai malam-malamku yang terjaga karena seorang laki-laki.
Patah hati bukanlah dosa, patah hati adalah suatu fase manusia sebagai makhluk
mortal yang menurutku harus dialami dalam proses menjadi seutuhnya. Aku pernah melewati malam-malam dingin, saat harus tidur
dengan pikiran terbangun dan harus bangun dengan semangat yang tertidur.
Saat patah hati, citra diri yang selama ini susah payah kubangun runtuh
seketika. Aku yang selalu mengagumi kirana mentari yang menerobos luang-luang dedaunan malah jadi mengutuk silaunya. Aku yang kerap menganggap embun yang
mengabutkan jendela mobilku adalah sambutan dari alam sebelum memulai hari
malah jadi menggerutu karena kerepotan terhalang jarak pandangnya. Semua begitu
kacau, balau, berantakan. Betapa aku ingin sesak di dadaku hilang; semakin
berat justru untuk mengambil nafas. Bia,
Arum, saat dia kubiarkan pergi aku kira dia akan kembali seperti dulu-dulu. Karena sejuta kali ia
memandangku lekat-lekat, menenggelamkanku dalam kehangatan fananya, kemudian ia
berbisik namun menegaskan,
“Adey, kamu adalah rumah. Seberapa jauh aku pergi, melanglang buana,
atau mampir kesana kemari, kamu adalah rumah. Dan aku pasti kembali, karena
kamu, adalah, rumah.”
Kalimat yang ia tiupkan sejuta
kali itu dulu membuatku terlena, setia
duduk di ‘rumahnya’ lalu menunggu, menunggu, dan menunggu. Benar saja, ia
pergi, melanglang buana, mampir kesana kemari, namun belum juga kutemui ia
kembali. Dulu aku agungkan rumahku dan dia, sebuah sandang yang terletak di
suatu sabana, satu-satunya tempat menanggalkan lelah dan menanggalkan ‘topeng’
yang dipakai di luar rumah. Dulu aku banggakan rumahku dan dia, sebuah rumah
kayu yang dipadati aroma lavender, satu-satunya di planet Bumi untuk dia
melepas penat dan wibawanya.
Konsep rumah yang ia janjikan
padaku dulu membuatku terhipnotis,
manis duduk di ‘rumahnya’ lalu menunggu, menunggu, dan menunggu. Benar saja, ia
pergi, melanglang buana, mampir kesana kemari, namun tidak juga kutemui ia
kembali. Apabila aku khawatir dan mulai ragu akan janjinya, kadang aku keluar
rumah dan melakukan perjalanan kecil ke kantor pos. Aku tulis surat rindu yang
penuh tanya, menanyakan kapan ia akan kembali, kenapa ia tidak kunjung kembali?
Tidak lama, biasanya kutemukan
surat balasan darinya dengan kalimat yang masih sama titik komanya:
“Adey, kamu adalah rumah. Seberapa jauh aku pergi, melanglang buana,
atau mampir kesana kemari, kamu adalah rumah. Dan aku pasti kembali, karena
kamu, adalah, rumah.”
Pula ia
meyakinkanku bahwa jarak yang terbentang di antara kami justru akan menjadi
pemanis hubungan kita. Dan tidak jenuhnya ia memintaku untuk tenang, untuk
duduk manis menunggunya di rumah, karena ia pasti akan kembali.
Hingga rumput
yang bergoyang menyampaikan suatu rahasia dalam diamku menunggu di rumah,
rumput bergoyang itu menganginkan berita bahwa kekasihku pergi, melanglang
buana, mampir kesana kemari kerumah yang bukan rumah kami. Tidak hanya satu
kali. Bukan main aku tersentak. Segera aku berlari keluar rumah dan semakin aku
tersentak.
Rumah, katanya?
Ternyata rumahku
bukan rumah kayu yang hangat, melainkan kayu berjamur dan lembab bukan main.
Lalu, rumahku bukan sebuah
sandang yang terletak di suatu sabana, tapi sebuah kandang yang bertempat di
padang rumput kering kecoklatan.
Tahukah, setelah menenangkan
diri dan menarik nafas panjang aku menangis. Aku terbuai dengan konsep rumah,
aku menunggu, menunggu, dan menunggu. Aku dijadikan rumah, sebuah objek. Bia atau Arum, bukan berarti aku menentang
keras untuk dijadikan sebuah rumah. Justru menurutku itu tetap menjadi lambang
pujian tertinggi saat seseorang nyaman dengan kita. Hanyalah, aku ingin
menegaskan jenis rumah yang tidak boleh kalian tempati.
Bia, izinkan aku mengutip tulisanmu
untuk Arum,
“Mungkin kamu sudah menyadari,
Arum, bahwa bukan lelaki kita saja yang mengembara? Kita, perempuan, juga
mengembara dengan cara kita sendiri. Kita tidak seperti dia, tentu – mungkin
dia akan pergi ke laut dan gunung, ke orang-orang yang tidak beruntung, seperti
katamu, menyelami buku, dalam kasusku, sementara kita akan lebih banyak pergi
ke padang bunga, ilalang di bawah bintang, kertas-kertas puisi, mengais hidup
di antara orang-orang dibanding teori-teori (Oh ya, bukan berarti kita tidak
bisa ke gunung dan demikian sebaliknya). Kita juga mengembara. Dan kita membawa
rumah juga dalam diri kita.”
Ya, dari kisahku sebagai rumah waktu itu aku belajar banyak. Aku
tidak lagi mau menjadi sekedar rumah. Aku tidak mau hanya menunggu kekasih
untuk makan malam di rumah. Aku sudah terlalu sering dan selalu menunggu
kekasih untuk makan malam di rumah. Aku bukanlah tempat untuk kembali setelah
kekasih pergi, melanglang buana, mampir kesana kemari.
Aku bukan rumah.
Arum dan Bia, never settle for less. Temukanlah dan jadilah seseorang yang tidak mau dijadikan
tempat singgah untuk makan malam, kalian bukan rumah. Aku tidak lagi mau
menjadi rumah untuk seseorang. Sama dengan Bia dan Arum, kalian lebih dari itu.
Jangan ulangi kesalahanku, jangan terlelap dalam untaian kata yang menjadikan
kalian ‘rumah’. Kalian lebih dari itu, kalian adalah dan harusnya menjadi rekan
lancong.
Arum, jangan
bangun rumah untuk seorang petualang yang bahkan segan untuk singgah. Kamu petualang, Rum, kamu pelancong.
Dengan kaki-kaki yang sama
kuatnya dengan hati kalian, jadilah pelancong. Kalau kekasihmu masih memiliki
pola pikir dan menyebut kalian sebagai sekedar
‘rumah’, jangan bukakan mereka pintu. Jangan jadi tempat singgah untuk makan
malam setelah kekasih kalian pergi, melanglang buana, mampir kesana kemari saat
kalian dipaksa untuk duduk menunggu di rumah. Jangan lagi buka pintunya. Saat
ia kembali datang mengetuk pintu rumahmu—pertahanan
terakhirmu— aku
harap kalian sedang makan malam dengan seseorang yang baru saja pergi melancong
dengan kalian. Seseorang yang
menjadikan kalian rekan lancong, memperlakukan kalian sebagai seorang manusia, bukan
sebagai objek seperti rumah.
Seseorang yang membawa
kalian saat melancong, seseorang yang kalian ajak melancong. Seperti aku, aku
tidak mau duduk lebih lama lagi menunggu kekasihku pulang kerumah. Aku,
kalian juga, Bia, Arum, adalah lebih dari itu. Kalian adalah lebih dari menunggu. Pergilah, melanconglah dengan
ia yang mengajak kalian mengembara.
“…mungkin dia akan pergi ke laut dan gunung, ke
orang-orang yang tidak beruntung, seperti katamu, menyelami buku, dalam
kasusku, sementara kita akan lebih banyak pergi ke padang bunga, ilalang di
bawah bintang, kertas-kertas puisi, mengais hidup di antara orang-orang
dibanding teori-teori,”
Tidak harus satu
tujuan, tapi paling tidak, salinglah mengecup bibir yang mendoakan keselamatan
atas nama kesetiaan, sebelum anyaman tangan kalian dan kekasih terpisah di
depan pintu rumah kalian;
Rumah yang dibangun bersama. Rumah
yang menjadi tempat makan malam untuk berdua, setelah lelah
melancong bersama. Rumah dengan dapur yang menjadi saksi kisah kalian, sepasang
pelancong yang memasak makan malam bersama.
Barulah, jadilah rumah.
Click to read their beautiful writings:
Arum
Shabia
1 comments: